Nasional, NOLESA.COM – Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013) Mahfud MD menanggapi pernyataan Amien Rais yang menyesali telah melakukan amandemen terhadap UUD 1945 saat menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) pada periode 1999-2004.
Penyesalan Amien Rais terkait amandemen UUD 1945 yang ditanggapi Mahfud MD itu terkait dua hal pokok.
Pertama, soal pemilihan presiden dari yang awalnya dipilih oleh MPR menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, soal ketentuan calon presiden yang awalnya harus “orang asli Indonesia” menjadi “warga negara Indonesia”.
Menurut Amien Rais, dirinya tak menyangka pemilihan langsung yang dulu dianggap paling baik kini berubah menjadi simalakama.
Dulunya dirinya menganggap dengan pemilihan langsung, maka pemilihan umum di Indonesia akan berjalan lebih demokratis. Sebab tidak mungkin seorang calon presiden akan menyogok pemilih Indonesia yang berjuta-juta.
“Jadi dulu, itu kita mengatakan kalau dipilih langsung one man one vote, mana mungkin ada orang mau menyogok 120 juta pemilih, mana mungkin, perlu puluhan mungkin ratusan triliun. Ternyata mungkin. Nah itu,” kata Amien Rais usai bertemu dengan MPR RI pada Rabu, 5 Juni 2024.
Namun, menurutnya, perkiraan yang dibuatnya itu salah. Hal yang dulunya dianggap mustahil itu ternyata terjadi di masa kini.
Karena itu, dirinya meminta maaf kepada rakyat Indonesia yang telah mempelopori perubahan pemilihan presiden dari pemilihan tertutup ke pemilihan langsung itu.
Untuk itu, Bapak Reformasi itu mendorong MPR untuk kembali melakukan amandemen mengembalikan aturan pemilihan presiden pada aturan lama.
Tanggapan Mahfud MD
Menurut Mahfud MD dalam tulisannya di Harian Kompas, 15 Juni 2024, perubahan UUD 1945 pada saat itu merupakan arus besar yang tak bisa dibendung.
Karenanya, jika perubahan itu dianggap salah, menurut Mahfud MD rasanya kurang tepat jika hanya Amien Rais yang meminta maaf tanpa diikuti permintaan maaf dari seluruh pejuang Reformasi yang turut menjadi motor amandemen pada saat itu.
“Kalau amandemen tersebut salah, itu adalah kesalahan kolektif kita,” tulis Mahfud MD.
Sementara itu, terkait usulan Amien Rais untuk kembali melakukan amandemen UUD 1945 guna mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih presiden, hal itu merupakan hal yang wajar mengingat UUD 1945 sendiri tidak anti-perubahan.
Menurut Mahfud MD, dengan mengutip KC Wheare, konstitusi adalah kesepakatan (resultante) para pembentuknya berdasarkan kondisi sosial, politik, ekonomi yang terjadi pada saat pembentukan UUD.
Karenanya, kapanpun, asalkan ada kemauan dari pembentukan undang-undang, UUD 1945 bisa dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan kebangsaan di masa kini.
Menurut Mahfud MD, sejarah memperlihatkan bahwa kita sudah berkali-kali melakukan amandemen sejak UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945. Namun belum sampai pada modelnya yang tepat hingga terus digugat dan dipermasalahkan setiap waktu.
“Jika dihitung dari sejarah perjalanan bangsa, baik secara resmi maupun dalam praktik ketatanegaraan sejak tahun 1945, kita sudah melakukan perubahan konstitusi tidak kurang dari sepuluh kali, yang kemudian selalu digugat untuk diamandemen lagi,” tulis Mahfud MD.
Namun begitu, menurut Mahfud MD, persoalan utama bangsa ini sebenarnya bukan hanya pada aturan-aturan konstitusional saja, melainkan juga pada persoalan moral dan etika berbangsa dan bernegara.
Menurutnya, diamandemen setiap tahun pun, namun tak ada perbaikan pada aspek moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara, maka semuanya akan sia-sia belaka.
“Diubah tiap tahun pun, jika moral, etik, dan konsistensi kita dalam berhukum tidak diperbaiki, amendemen seperti apa pun tidak akan ada gunanya,” tegas Mahfud MD diakhir tulisannya.
Penulis : Wail Arrifki
Editor : Ahmad Farisi