Revisi UU MK dan UU Penyiaran: Politik Destruktif yang Membahayakan Demokrasi

Redaksi Nolesa

Kamis, 30 Mei 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh AHMAD FARISI*


Upaya politik kekuasaan untuk mendegradasi demokrasi sedang berlangsung. Melalui kuasa legislasinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara destruktif hendak membonsai kekuasaan MK dan juga pers melalui revisi undang-undang yang dilakukan secara tertutup.

Revisi undang-undang dimaksud adalah UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Poin-poin perubahan pada dua UU tersebut secara nyata hendak membungkam pers sebagai pengawas kekuasaan dan mengerdilkan MK sebagai penjaga konstitusi. Sebab, poin-poin perubahan yang ada, alih-alih semakin menguatkan iklim peradilan dan jurnalisme kita, yang ada justru semakin memperburuk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lazimnya, revisi undang-undang dilakukan untuk menyempurnakan yang kurang baik dan memperbaiki yang tak lagi relevan: menambal yang bolong, dan memperhalus yang kasar. Namun, apa yang dilakukan DPR dalam revisi UU MK dan UU Penyiaran justru adalah sebaliknya: merusak yang telah baik dan menciptakan kerusakan baru yang lebih parah.

Dalam konteks UU MK, salah satu poin revisi yang sangat problematik adalah soal pemberhentian hakim konstitusi. Di mana jika revisi itu berhasil disahkan, maka lembaga pengusul setiap lima tahun bisa secara leluasa melakukan evaluasi dan bahkan memberhentikan hakim konstitusi yang dianggap tidak memuaskan kekuasaan (Pasal 23A Ayat 2 RUU MK).

Baca Juga :  Berebut Tiket Cawabup Fauzi

Kehadiran ketentuan baru yang termuat dalam Pasal 23 Ayat 2 RUU MK itu sebenarnya bukanlah hal baru. Jauh sebelum ketentuan itu diselundupkan dalam revisi UU MK yang keempat, DPR sebenarnya telah lebih dulu mempraktikkan cara semacam itu dalam pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi.

Kala itu, DPR yang mendapat surat konfirmasi dari MK mengenai jabatan Aswanto, secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas sebagaimana diatur dalam UU MK, mencopot Aswanto dan mengangkat Guntur Hamzah sebagai gantinya. Satu-satunya alasan yang kala itu diajukan DPR adalah karena Aswanto dinilai kerap menganulir UU yang dibuat oleh DPR. Padahal, secara konstitusional, hal itu memang merupakan tugas Aswanto sebagai hakim konstitusi.

Jadi, jika praktik pemberhentian Aswanto yang tidak memenuhi syarat itu di legalisasi melalui revisi UU MK, maka dapat dipastikan tak akan ada hakim-hakim konstitusi yang kemudian berani untuk membatalkan undang-undang yang dibuat oleh DPR-Pemerintah ke depannya. Tak akan ada lagi-lagi hakim independen yang bisa diharapkan. Dan, sekalipun ada, kemungkinan ia tak akan berumur panjang, diberhentikan di tengah jalan seperti Aswanto.

Baca Juga :  Kisah Sang Rasul: Sebuah Ekspresi Cinta yang Mendalam Sehingga Menyesakkan Dadanya

Sementara dalam konteks revisi UU Penyiaran, poin utama yang dianggap sangat problematik adalah Pasal 50 B Ayat 2 huruf c yang memuat ketentuan larangan menayangkan siaran ekslusif jurnalisme investigasi. Padahal, adanya jurnalisme investigasi sangat penting bagi pers. Sebab, sebagai pengawas dan pengontrol kekuasaan, keberadaan pers bukan hanya sebagai penyiar peristiwa, tetapi juga bertugas untuk membongkar fakta di balik peristiwa.

Karena itu, bisa dikatakan, jantung utama media sebenarnya terletak pada kebebasannya untuk melakukan investigasi mendalam terhadap sebuah peristiwa. Tanpa kebebasan untuk melakukan investigasi, maka keberadaan pers tak lebih dari sekadar pembawa surat. Semata-mata hanya menjadi perantara informasi yang telah ”ditulis” rapi oleh kekuasaan. Bukan lagi sebagai watch dog yang senantiasa menggonggongi kekuasaan.

Baca Juga :  Filsafat sebagai Jalan Hidup

Matinya pers dan MK adalah awal dari kelahiran monster kekuasaan. DPR harus menyadari bahaya ini.


Karena itu, rencana revisi UU Penyiaran ini jika terus dibiarkan berlanjut tanpa perubahan pada poin-poin kontroversial hingga sampai disetujui dan disahkan, maka eksistensi pers benar-benar akan mandul, persis seperti eksistensi MK jika revisi UU MK juga disahkan tanpa perubahan signifikan sejumlah poin-poin yang problematik secara ketatanegaraan.

MK dan pers, sebagai dua institusi negara dan institusi non-negara independen pada tahap selanjutnya hanya akan menjadi institusi pajangan belaka. Adanya hanya ada, namun tidak bisa melakukan kontrol dan pengawasan secara signifikan terhadap kekuasaan.

Hal itu tentu adalah ancaman serius bagi masa depan demokrasi Indonesia. MK dan pers adalah dua pilar penting demokrasi. Tanpa kontrol dan pengawasan dari keduanya, kekuasaan otoritarian orde baru yang kita lawan 26 tahun silam akan kembali. Matinya pers dan MK adalah awal dari kelahiran monster kekuasaan. DPR harus menyadari bahaya ini.


*) Pengamat Politik

Berita Terkait

Serba-serbi Guru
Titik Krusial; Jangan Paksakan Anakmu untuk Menjadi Seperti Kamu
Hari Ayah Takkan Terlewatkan Begitu Saja
Musibah dan Penderitaan Merupakan Cara Allah Untuk Menyempurnakan Ciptaan-Nya
Bulan Muhammad SAW: Pemimpin yang Adil Mutiara yang Hilang
Bulan Muhammad SAW: Kelanggengan dan Kemusnahan Agama
Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?
Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi

Berita Terkait

Selasa, 26 November 2024 - 15:00 WIB

Serba-serbi Guru

Jumat, 22 November 2024 - 05:18 WIB

Titik Krusial; Jangan Paksakan Anakmu untuk Menjadi Seperti Kamu

Selasa, 12 November 2024 - 07:29 WIB

Hari Ayah Takkan Terlewatkan Begitu Saja

Jumat, 4 Oktober 2024 - 08:00 WIB

Musibah dan Penderitaan Merupakan Cara Allah Untuk Menyempurnakan Ciptaan-Nya

Jumat, 20 September 2024 - 07:30 WIB

Bulan Muhammad SAW: Pemimpin yang Adil Mutiara yang Hilang

Berita Terbaru

Elmira Damayanti (kolase foto nolesa.com)

Puisi

Puisi-puisi Elmira Damayanti-Madura

Sabtu, 7 Des 2024 - 07:43 WIB