Judul: Menjalin Ikatan Cinta Allah
Penulis: Aisyah Al-Bauniyah
Penerbit: Turos Pustaka
Cetakan: April, 2021
Tebal: 208 halaman
ISBN: 978-623-732-75-23
Perasaan cinta tidak mudah diikatkan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Seorang hamba harus melatih sikap, perilaku dan pola pikir agar bisa menjalin keterpautan cinta dengan Tuhannya.
Beberapa sikap ini perlu diasah agar seorang hamba bisa menjalin ikatan dengan penuh mesra sehingga bisa menjadi hamba yang bermutu di hadapan Tuhannya.
Buku terjemahan berjudul Menjalin Ikatan Cinta Allah: Empat Tahapan Hakikat Menjadi Kekasih-Nya ini merupakan karya sufi besar, Syaikhah Aisyah Al-Ba’uniyah, seorang tokoh sufi wanita Islam yang dikenal dunia setelah Rabiah Adawiyah.
Ia dikenal sebagai ahli fiqih, mursyid tarekat, penulis dan penyair sufistik yang telah menulis belasan buku selama hidupnya. Walaupun, menurut beberapa cendekiawan sebagian besar karyanya telah hilang.
Buku ini berjudul asli Al-Muntakhab fi Ushul ar-Ruttab. Selain mengutip keterangan dari Al-Quran, hadits, sahabat dan ucapan dari para sufi, penulisan buku ini salah satunya diilhami dari kepiawaiannya sebagai seorang penyair perempuan. Sering kali ia membubuhkan syair anggitannya dalam setiap penjelasan, bahkan tidak jarang pesan yang ingin disampaikan, ia tuangkan dalam bait-bait syair di dalam buku ini sehingga indah dibaca dan mudah dipahami oleh kalangan masyarakat Arab yang sangat kental dan menyukai sastra ketika itu.
Empat prinsip yang dikemukakan di dalam buku ini menjadi salah perantara untuk meraih cinta Tuhan.
Pertama, seorang salik harus melakukan tobat lahiriyah dan batiniyah. Dengan cara menyesali dosa, melepaskan diri darinya dan memiliki tekad untuk tidak mengulanginya.
Apabila benih tobat jatuh dipermukaan hati lalu angin penyesalan bertiup dan mendung kelopak mata menuangkan kucuran air mata, maka hiduplah bumi itu, suburlah ia dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah seperti bunga-bunga tajalliyah (penampakan ilahiyah), buah-buah kontemplasi (penyaksian ilahiyah), tanaman-tanaman wangi wishal (peraihan), buah-buah ittishal (keterhubungan) dan lainnya yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata dan tidak dapat dipahami dengan isyarat (hal. 40)
Prinsip kedua yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba adalah ikhlas. Ikhlas adalah hilangnya orientasi ingin dipandang orang lain dan ketika engkau tidak menggangap dirimu sebagai pusat perhatian.
Tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah melihat dirimu dengan mata kekurangan (hal. 70). Menurut Al-Qusyairi, ibadah yang ikhlas adalah menerima perintah ilahi dengan ketundukan tertinggi dan itu dilakukan dengan nafsu, hati dan jiwa. Keikhlasan dengan nafsu bertujuan untuk menghindar dari perasaan selalu kurang. Keikhlasan dengan hati bertujuan untuk menutup mata dari melihat orang lain dan keikhlasan dengan jiwa bertujuan untuk membersihkan diri dari berkeinginan diistimewakan. Inilah pencapaian yang sebenarnya dari keikhlasan yang hakiki (hal. 71).
Prinsip yang ketiga adalah zikir. Definisi zikir di dalam buku ini memiliki makna yang sangat mendalam, tidak hanya sebatas mengingat Allah Swt.
Definisi zikir yang disampaikan oleh Syaikhah Aisyah Al-Ba’uniyah di buku ini disandarkan kepada beberapa definisi kaum sufi lainnya.
Zikir adalah penawar bagi para pendosa, kemesraan bagi mereka yang terbuang, harta karun bagi orang-orang yang bertawakal, nutrisi bagi mereka yang meyakini, perhiasan bagi para pencari dan medan pertempuran bagi mereka yang sudah mencapai makrifat (hal. 113).
Akan tetapi, berbeda dengan pengertian yang dari ahli makrifat bahwa salah satu faedah zikir adalah dapat mengusir lupa. Apabila lupa sudah tersingkir, dirimu menjadi orang yang berdzikir meskipun mulutmu diam (hal. 110).
Tahap yang keempat seorang hamba harus memiliki sikap Mahabbah (cinta). Aisyah Al-Ba’uniyah di dalam buku ini mengutip pendapat dari Imam Al-Qusyairi bahwa cinta membutuhkan penghapusan total dirimu agar kamu tenggelam dari Dia yang kamu cintai.
Secara lebih signifikan dan spesifik, Al-Junaid pernah ditanya tentang mahabbah. Beliau menjawab cinta adalah ketika sifat-sifat dia yang dicintai beralih pindah ke dalam sifat-sifat orang-orang yang mencintai (hal. 142). Banyak sekali definisi dari beberapa ulama’ sufi yang diungkapkan oleh Aisyah Al-Bauniyah di dalam buku ini.
Di samping menghadirkan empat konsep dalam tahapan hakikat menjadi kekasih Allah, buku ini menawarkan kemolekan puisi-puisi Aisyah Al-Bauniyah dan puisi-puisi ulama sufi lainnya.
Puisi-puisi yang termaktub di dalam buku ini sangat menggugah kepada siapa saja yang membacanya. Seperti salah satu puisinya Meski dosa-dosa besar telah membuatku sakit/imanku kepada keagungan-Mu tetap kuat/walau jagad raya himpit aku sebab dosa/sangka baikku kepadamu lapang tiada kira (hal. 43).
Puisi-puisi di dalam buku ini menjadi landasan dalam memberikan motivasi agar benar-benar menyelami keempat sikap yang ditawarkan oleh Aisyah Al-Bauniyah.
Beberapa puisi yang digubah oleh Syaikhah Aisyah Al-Ba’uniyah di dalam buku ini salah satunya difungsikan untuk menasehati seorang pemuda untuk bertaubat kepada Allah. Aisyah Al-Bauniyah tidak hanya menghadirkan pengertian keempat sikap untuk menjadi pegangan, tetapi diselingi dengan nuansa puisi-puisi sufistik yang menggugah jiwa.