Menyambut Pemilu 2024 dan Melepas Ketergantungan Politik Uang

Muhammad Yazid

Senin, 7 Agustus 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Opini, NOLESA.com – Tinggal menghitung bulan, pemilu akbar akan terselenggara. Pada moment ini kita akan dimanjakan dengan berbagai seremoni-seremoni kampanye yang akan dilakukan oleh pelaku politik baik dari tingkat pusat, provinsi dan daerah. Di situlah, juga menjadi ajang para peserta pemilu untuk mempresentasikan dirinya kepada publik.

Hingga sampai hari ini, sejumlah calon yang sudah ditetapkan oleh partainya masing-masing telah berdikari, melakukan kunjungan ke berbagai daerah dalam rangka memantapkan diri, menjalin interaksi dengan para elite di daerah tersebut dan juga masyarakat pinggiran. Agar hajatnya yang mulia mendapat respons dan dukungan.

Tentu perilaku semacam ini, sah-sah saja dalam konteks politik bagi para peserta/calon. Hal ini juga dilakukan tidak hanya di tingkatan atas/capres melainkan sampai ke tingkatan paling bawah sekalipun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lain pada itu, kita sebagai penikmat sekaligus peserta pemilih yang nantinya membagikan hak kita untuk para calon dituntut cerdas dalam menentukan pilihan agar tidak subjektif. Sebab, apabila salah dalam memantapkan pilihan akan menjadi luka bagi masa depan bangsa dan negara.

Problemnya sekarang adalah bagaimana kita menjadi penikmat yang cerdas dan objektif. Sekalipun sudah marak dilakukan bimbingan maupun pendidikan cerdas berpolitik oleh sejumlah stekholder, itu-pun belum berdampak signifikan ke akar rumput. Lebih-lebih mindset yang mengakar di tengah masyarakat sampai hari ini adalah politik uang.

Baca Juga :  Guru Literat: Inisiator yang Kreatif

Sedikit mengulas Politik uang merupakan suatu cara atau modus yang dilakukan untuk mempengaruhi orang lain dengan pemberian imbalan materi yang kadang berbentuk amplop atau bisa diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan agar mempengaruhi suara pemilih.

Praktek ini kemudian, menjadi kebutuhan sekunder yang setia ditunggu pada setiap penghelatan politik akan berlangsung. Dengan harapan pada moment tersebut mereka mendapat amplop, tampa memikirkan konsekuensi selanjutnya. Hingga keluar celoteh tidak ada uang, maka tidak ada suara.

Celoteh-celoteh semacam ini, kemudian justru menjadi ladang subur bagi pelaku politik uang yang harus kita lawan. Karena dari hal tersebut akan menjadi induk korupsi yang senantiasa merugikan bangsa dan negara.

Sebagaimana dilaporkan oleh Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief keberhasilan sebuah pemilu atau pilkada 95, 5 persen hampir dipengaruhi oleh kekuatan uang, sebagian besar juga untuk membiayai mahar politik yang cenderung sangat tinggi, sehingga setiap kontestan harus mengeluarkan Rp 5-15 miliar.

Angka tersebut terbilang sangat tinggi, bisa dibilang hampir keseluruhan masyarakat terjebak pada kekuatan politik uang. Maka, benar adagium yang sedang menjadi trendi di media sosial “ada uang, maka akan berkuasa”.

Dari angka tersebut dapat dipastikan bahwa mindset ada uang ada suara telah meracuni masyarakat lebih-lebih akar rumput.

Kebiasaan buruk tersebut sudah menjadi problem lama, tapi belum menemukan jurus solusinya. Hingga menjadi masalah yang berkepanjangan tak menemukan akhir. Budaya itu terus di aplikasikan dalam konteks pemilihan umum yang berbuntut semakin langgengnya budaya politik uang.

Baca Juga :  Anies-Ganjar ke MK, Bidik Jokowi & Gibran

Mengubah Mindset

Kita akui, acara-acara seremonial telah diselenggarakan baik oleh Bawaslu, KPU dan Organisasi lainnya dalam rangka memotong laju rasa ketergantungan akan politik uang, tetapi hal demikian belum berjalan maksimal memengaruhi alam sadar masyarakat.

Sekalipun cara seperti tersebut tidak efektif bukan berarti memutusnya dan mengabaikannya. Melainkan lebih disadari bersama oleh generasi bangsa untuk ikut andil dalam mencerdaskan masyarakat agar rasa ketergantungan pada politik uang bisa diputus.

Lain pada itu, semua kalangan elite baik tokoh masyarakat, kiai dan orang-orang yang punya kharisma di masyarakat tentu juga harus berpartisipasi melakukan pendidikan kesadaran terus menerus kepada masyarakat awam. Mereka butuh bimbingan, sebab mereka tidak memiliki pemahaman bagaimana politik bekerja dan bagaimana konsekuensinya.

Gampangnya, politik uang bukan solusi kebaikan bangsa, melainkan duri yang senantiasa menjadi induk korupsi. Problemnya, jangan sampai para pemilik pengaruh ke masyarakat, orang punya pengetahuan akan politik, bagaimana gerak dan laju politik serta tahu akan konsekuensi dari politik uang yang justru mengamini perilaku demikian.

Hal tersebut sama saja dengan niat melakukan perubahan, kesadaran dan pendampingan tetapi dia sendiri yang menolak dan memutus misi perubahan itu sendiri dan ini tidak boleh terjadi. Kalaupun sudah terjadi mari sadari dan perbaiki.

Baca Juga :  Ujung Tanduk Bahasa Daerah di Era Globalisasi

Dalam pemilu, masa depan bangsa dan negara seyogyanya ada pada diri kita, jika kita menyalurkan hak suara kita dengan cerdas dan objektif kita pula yang akan menikmatinya; kesejahteraan, keadilan dan keamanan.

Sebaliknya, jika memberikan hak pilih kita karena dorongan dan modus politik uang pada akhirnya kita yang dirugikan. Karena praktek semacam itu, di takutkan menghasilkan pemimpin yang tidak tepat memimpin. Keputusan dan kebijakan yang mereka ambil kurang representatif dan substansial. Bisa jadi kepentingan rakyat berada di nomor sekian setelah kepentingan dirinya, donatur dan partainya.

Di lain sisi, juga akan menghilangkan pemilih yang cerdas dan berkualitas, merusak tatanan demokrasi dan menurunkan harkat dan martabat manusia. Sebab praktek politik uang sama halnya dengan pembodohan masyarakat.

Oleh karena itu, mari kita kubur dalam-dalam sifat ketergantungan akan politik uang, jangan ada lagi ungkapan tidak ada uang, tidak ada suara dan jangan mempertaruhkan nasib lima tahun kita dengan harga yang murah dan itu pun bisa jadi bersifat sesaat.

Langkah akhirnya adalah bagaimana penyelenggara maupun badan pengawas berkolaborasi menyatukan misi memberangus induk dari pelaku politik uang. Karena selama induknya tidak di lumpuhkan dan tetap di biarkan budaya politik uang tetap akan mengakar.

Berita Terkait

Israel-Hamas Sepakat Hentikan Perang: Akhir dari Konflik Palestina-Israel?
Membumikan Nilai-nilai Aswaja di Kalangan Gen Z
Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025
Ketika Kemajuan Teknologi Malah Mendorong Kemunduran Logika
Demokrasi Sehat, Rakyat Berdaulat: Menuju Sumenep Bermartabat
Menanamkan Nilai
Anies Baswedan dan Partai Baru
Refleksi HUT RI Ke-79: Mengapa Bung Karno Memilih Bentuk Negara Kesatuan?

Berita Terkait

Sabtu, 18 Januari 2025 - 15:17 WIB

Israel-Hamas Sepakat Hentikan Perang: Akhir dari Konflik Palestina-Israel?

Jumat, 17 Januari 2025 - 17:54 WIB

Membumikan Nilai-nilai Aswaja di Kalangan Gen Z

Kamis, 2 Januari 2025 - 20:23 WIB

Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:16 WIB

Ketika Kemajuan Teknologi Malah Mendorong Kemunduran Logika

Selasa, 12 November 2024 - 06:56 WIB

Demokrasi Sehat, Rakyat Berdaulat: Menuju Sumenep Bermartabat

Berita Terbaru

Nasional

Gelar Raker, Lakpesdam NU Depok Canangkan Program Strategis

Sabtu, 18 Jan 2025 - 19:10 WIB

Opini

Membumikan Nilai-nilai Aswaja di Kalangan Gen Z

Jumat, 17 Jan 2025 - 17:54 WIB

Raline Rahmat Shah (Raline Shah) Stafsus Bidang Kemitraan Global dan Edukasi Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI (Foto: IG @ralinshah)

Nasional

Alasan Pengangkatan Raline Shah sebagai Stafsus Kemkomdigi

Jumat, 17 Jan 2025 - 07:57 WIB

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) RI, Meutya Hafid (Foto: IP/nolesa.com)

Nasional

Luncurkan e-Katalog Prangko 2025, Begini Kata Menteri Meutya

Kamis, 16 Jan 2025 - 09:30 WIB