“Menjadi penulis itu gampang,” kata seorang penyaji dalam Pelatihan Kelas Menulis Santri (PKMS) tiga tahun yang lalu di Pondok Pesantren Annuqayah. Dia adalah Imam Shofwan dari wartawan Yayasan Pantau.
Kemudian Shofwan mengutip aforisme klasik dari Imam Al-Ghazali yang sudah sekian lama penulis kenal di dunia pesantren tentang suntikan semangat untuk menjadi terkenal, barangkali al-Ghazali hanya menilai orang menulis untuk dikenal, untuk eksis, untuk keberadaan dirinya sendiri (existence itself). Saya pikir, semua butuh disesuaikan dengan kondisi dan keinginan seseorang agar dapat terdorong menjadi seorang penulis.
Di beberapa kesempatan saat saya memberikan materi tentang kepenulisan, selalu saya kutip: menjadi penulis itu sulit atau gampang? Kalau Anda bukan anak seorang raja, maka menulislah agar cepat dikenal. Saya cantumkan pula seruan ayat al-Qur’an yang berkelindan dengan makna penting “menulis”. Salah satunya dalam QS. Al-Qalam: 1 dan QS. Al-Alaq: 1-5, dalam surat yang terakhir disebutkan bahwa Allah mengajarkan manusia dengan perantaran kalam (tulisan), dan Allah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Para peserta termangut-mangut pertanda sedikit paham apa yang saya jelaskan. Terlintas, mereka menghargai, dan mengerti pentingnya menulis secara pedagogik dan fungsional, dan seketika mereka menimpali dengan pertanyaan-pertanyaan yang skeptis seolah tidak menerima begitu saja, tentang kenyataan-kenyataan yang bersebarangan dengan logika hukum, sebagaimana yang saya paparkan dimuka—menulis dan ingin terkenal.
“Mungkinkah al-Ghazali dulu sebatas menulis tanpa berpikir ingin mendapatkan keuntungan material dari menulis?” tanya peserta kepenulisan (tanpa saya sebut kegiatan apa). Sejenak, saya terus membiarkan peserta yang lain nyeletuk, “bagaimana jika menulis pingin jadi politisi?” Dua pertanyaan yang cukup membingungkan untuk saya jawab apalagi untuk merangkum menjadi satu jawaban sekaligus.
Baiklah. Kemudian saya meminta kepada peserta kepenulisan, untuk membuang semua keinginan yang tidak berkaitan dengan dirinya menjadi seorang penulis; baik yang ingin jadi kiai, politisi, pembisnis, dsb.
Dengan cara membuang semua atribut yang tidak diperlukan dalam forum kepenulisan, mereka dapat memfokuskan untuk “berpikir menjadi seorang penulis.” Kadang, dalam hal mengajar, seorang guru tidak dapat mengetahui seluk-beluk keinginan murid dan tidak dapat menguasai hati murid yang sedang gundah. Akibatnya, mereka tidak akan menemukan jati dirinya, apalagi dijejali sebuah materi yang kurang berhubungan dengan keinginan murid.
Berfikir menjadi penulis bagi saya sendiri adalah sesuatu yang harus dimulai untuk mengenalkan apa yang ingin disampaikan kepada orang lain. Untuk mengenalkan tulisan tersebut membutuhkan yang namanya sembilan elemen yang ditulis Bill Kovach dalam bukunya The Elements of Journalism, memang merupakan materi yang saya sampaikan saat itu.
Dengan cara seperti ini, saya menegaskan kembali kepada seluruh peserta, bahwa kunci yang pertama menjadi penulis (apalagi wartawan) adalah bersikap jujur; artinya jujur kepada orang lain, dan jujur kepada dirinya sendiri. “Lalu, apakah kejujuran yang harus Anda lakukan hari ini?” Dalam keadaan mereka yang sangat sulit untuk jujur pada dirinya sendiri, terutama karena kejujuran (honesty) adalah sifat yang begitu sulit untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pasalnya, untuk menuntaskan elemen pertama tentang kebenaran (truth) sulitnya setengah mati.
Banyak propaganda yang berembus melupakan masyarakat untuk menjunjung tinggi kebenaran, aktivitas kehidupan manusia tercecer dengan beragam informasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan, banyak pula wartawan yang tidak berani mengungkap kebenaran karena hegemoni politik, para penulis tak pernah benar-benar seberani, sebut Mahbub Djunaidi menyuarakan imperialisme, tak seberani Hamka menyuarakan komunisme, dan tak seteguh Tan Malaka menentang kolonialisme.
Sampai pada akhirnya, saya sempat berfikir bahwa, menjadi penulis adalah sesuatu yang bukan dibentuk oleh orang lain, tetapi diciptakan oleh diri sendiri (create ability), dengan cara membuktikan kebenaran seorang penulis kepada orang lain (prove the truth).
Akhirnya, saya pesankan kepada mereka bahwa; “Jika kalian ingin menjadi penulis jangan ikut pelatihan menulis, tapi menulislah setiap hari”.