Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa deskripsi tentang riwayat Al-Farabi sulit didapatkan. Al Farabi sendiri tidak pernah menuliskan autobiografinya. Al-Farabi berbeda dengan tokoh-tokoh lain, seperti Al-Kindi (180-260 H/796-873 M), Ar-Razi (250-313 H/864-925 M), Al-Ghazali (450-505H/1058-1138 M), Ibnu Majah (475-533 H/1082-1138 M) dan lain sebagainya yang dengan mudah dapat ditemukan biografi lengkapnya.
Nama lengkap Al-Farabi sendiri masih dalam perdebatan. Ibnu Abi Ushaibi’ah dalam bukunya,’Uyun al- Anba’, menyatakan bahwa nama Al-Farabi adalah Abu Nars bin Muhammad bin Muhammad Awzalagh bin Tarkhan. Ibnu Khallikan dalam bukunya, Wafiyat al-A’yun, menyatakan bahwa nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nars bin Tarkhan bin Awzalagh.
Tetapi terlepas dari semua persoalan literatur tersebut, sebenarnya riwayat hidup Al-Farabi dapat ditemukan dalam karyanya yang berjudul Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadil, di dalamnya disebutkan bahwa Al-Farabi hidup antara tahun 259-339 H/870-950 M. Setidaknya di dalam karyanya tersebut ada keterangan tentang riwayat hidupnya, sekali pun secara kronologis dan detail tidak ada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai pemikir ulung Al-Farabi, disebut-disebut sebagai ahli-ahlinya dalam logika pada zamannya. Keahliannya dalam bidang logika bisa dilihat dari komentar-komentarnya terhadap karya-karya Aristoteles. Melalui komentar-komentarnya itu, Al-Farabi dianugrahi gelar sebagai al-Mu’allimin al-Tsani (guru kedua) setelah Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup antara tahun 384-322 SM, yang bergelar al-Mu’allimin al-Awwal (guru pertama).
Sepanjang usianya, Al-Farabi mengabdikan diri dalam dunia ilmu pengetahuan dan filsafat. Karya-karyanya sangat banyak dan sebagian besar ditulis ketika ia berada di lingkungan Istana Saif al-Dawlah al-Hamdaniah. Al-Qifthi dan Ibnu Ushaibi’ah menyatakan bahwa sebenarnya karya-karya Al-Farabi berjumlah tidak kurang dari 70 buah. Karya-karya tersebut memuat berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebagian karya-karya itu masih ada dan sampai pada kita hari ini, baik dalam bahasa asing (Inggris, Prancis, Melayu dan Indonesia), atau dalam bahasa asli (bahasa Arab), dan sebagian sudah hilang.
Dalam menuliskan karya-karyanya, Al-Farabi biasa menuliskan dalam berbagai kertas. Karya-karya itu terbagi atas pasal-pasal dan komentar-komentar. Sebagian karyanya ada yang selesai dan ada juga yang tidak. Karya-karya Al-Farabi pada abad ke-V H. masih tersebar di kawasan dunia Timur. Seiring berjalannya waktu, karya-karya tersebut terus menyebar ke dunia Barat dimulai dari daerah Andalusia.
Pada bidang Fisika, Al-Farabi menulis komentar-komentarnya terhadap sejumlah risalah seperti Acultatio Phisica, De Coleto et Mondo, De Generatione et Corroptiane, De Plantis dan De Anima. Dalam bidang etika dan psikologi, misalanya, seperti Nichomachean Ethic, Alexander dari Aprhodisias, Phisica Aristoteles, Metereologi. Sedangkan dalam bidang filsafat, Al-Farabi mempunyai karya Kitab al-Jami’ Baina Ra’yai al-Hakimain, didalamnya ia mengomparasikan pemikiran Plato dan Aristoteles yang berkesimpulan bahwa pemikiran kedua filsuf itu tidak bertentangan (Moh. Asy’ari Muhtar, 2018: 108).
Selain memberi komentar pada karya-karya di atas, Al-Farabi juga punya karya orisinal yang cukup baik tentang psikologi maupun metafisika, di antaranya adalah: al-‘Aql wa al-Ma’qul, al-Nafs, al Quwa al-Nafsiyah, al-Wahid wa al-Wahdah, al-Jauhar, al-Makan dan al-Miqyas dan lain sebagainya. Sedangkan dalam bidang politik, Al-Farabi memiliki karya yang cukup banyak, salah satunya Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah.
Sebagaimana Aristoteles, Al-Farabi juga mencurahkan sebagian pemikirannya mengenai konsep-konsep dan bentuk-bentuk negara yang baik. Memang tidak secara pasti Al-Farabi menyebutkan tentang bentuk negara baik itu menurutnya bagaimana, harus demokrasi atau monarki? Al-Farabi tidak menyebut itu. Tetapi setidaknya secara umum, Al-Farabi memberikan gambaran bahwa yang dimaksud negara baik adalah negara yang mampu mensejahterakan rakyatnya baik dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi dan budaya. Dan serta juga bisa menjadi alat penyalur tersampainya kebahagiaan, kenyamanan dan keadilan bagi segenap rakyatnya. Sesuai dengan cita-cita pertama negara itu didirikan. Bukan malah menjadi mesin penindas rakyat.
Untuk mancapai negara baik, mengikuti alur pemikiran Al-Farabi, suatu negara haruslah dipimpin oleh para pengusung kebajikan yang tidak hanya berpikir tentang materi semata. Artinya, pemimpin itu harus bijak, sebijak-bijaknya dan baik, sebaik-baiknya, seperti nabi dan filsuf misalnya.
(Tulisan ini diadaptasi dari buku The Ideal State: Perspektif Al Farabi tentang Negara Ideal, karya Moh. Asy’ari Muhtar).