Mendorong ”Pengaturan Koalisi” Pencapresan

Ahmad Farisi

Jumat, 10 Juni 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kita belum memiliki aturan jelas perihal koalisi pencalonan presiden (pencapresan) yang kemudian menjadi koalisi pendukung pemerintahan bilamana memenangkan Pilpres. Koalisi-koalisi yang terbentuk pada masa pemilihan presiden (Pilpres) masih bersifat liar; tidak teratur dan serta tidak memiliki orientasi politik yang jelas.

Alih-alih membentuk koalisi atas dasar kedekatan dan/atau kesamaan ideologi seperti yang diungkapkan Arend Lijphart, justru koalisi-koalisi yang ada dibentuk lebih karena faktor kepentingan kekuasaan belaka (Romli, 2017).

Akibatnya, jarang sekali ada koalisi yang stabil dan bertahan lama. Keberadaan koalisi selalu dibayang-bayangi ketidakpastian dan perpecahan. Di Indonesia, hal ini kiranya sudah jamak diketahui. Contoh, koalisi yang menjagokan Prabowo-Hatta di Pilpres 2014: Koalisi Merah Putih (KMP). Pasca-kegagalannya memenangkan Pilpres 2014, koalisi yang terdiri dari Gerindra, PKS, PAN, PPP, Golkar, dan PBB itu terbilang masih solid. Bahkan sempat menguasai parlemen selama satu tahun. Namun, tak lama kemudian, karena terjadi perbedaan kepentingan, koalisi itu akhirnya pecah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

PPP, Golkar, dan PAN menarik diri dari keanggotaan koalisi dan lalu bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi-JK. Selain KMP, ada pula Koalisi Adil Makmur –koalisi yang mengusung pasangan Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019– yang juga bernasib sama dengan KMP. Bahkan koalisi ini bisa dikatakan lebih pragmatis lagi daripada KMP. Pasca-kekalahannya memperebutkan jabatan presiden, koalisi ini langsung memutuskan untuk membubarkan koalisi. Dua keanggotaannya: Gerindra dan PAN, kemudian bergabung ke dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.


Alih-alih membentuk koalisi atas dasar kedekatan dan/atau kesamaan ideologi seperti yang diungkapkan Arend Lijphart, justru koalisi-koalisi yang ada dibentuk lebih karena faktor kepentingan kekuasaan belaka (Romli, 2017).

Baca Juga :  Bersama Sang Istri, Kader Muda PAN Sumenep Turun Berbagi kepada Warga Kurang Mampu

Dua contoh di atas kiranya sudah cukup untuk menggambarkan betapa koalisi yang dibentuk pada masa pencapresan sangat rapuh, rentan pecah. Selama perpecahan itu terjadi di koalisi non-pemerintah, itu memang tidak terlalu menjadi soal. Sebab, hal itu tidak mengancam stabilitas dan jalannya roda pemerintahan. Bahkan, dengan adanya perpecahan koalisi non-pemerintah itu, pemerintah semakin diuntungkan. Lebih-lebih bila ada partai bekas koalisi non-pemerintah yang ikut bergabung. Koalisi pendukung pemerintah di parlemen bisa semakin kuat. Sehingga dapat dengan mudah menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya.

Terkait dengan hal ini, kita bisa melihat pemerintahan Jokowi-Ma’ruf sebagai contoh. Karena kuat dan besarnya koalisi pendukung pemerintahannya di parlemen, nyaris semua kebijakan-kebijakan politiknya berjalan mulus tanpa hambatan yang cukup berarti. Contoh: pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) baru, misalnya. Praktis –pun ditolak dan dikritik khalayak luas– UU inisiatif pemerintahan Jokowi-Ma’ruf itu terselesaikan secara cepat, taktis, dan singkat.

Namun demikian, ini bukan berarti positif. Sebab, dengan pecahnya koalisi non-pemerintah itu, yang pada saat bersamaan semakin memperkuat koalisi pemerintah, hal itu berakibat buruk pada parlemen. Parlemen menjadi didominasi koalisi pemerintah, dan akhirnya parlemen menjadi pasif dan tidak efektif. Ini jelas tidak baik. Jalannya politik demokrasi menjadi tidak seimbang.

Oleh sebab itu, hemat penulis, keberadaan koalisi yang terbentuk sejak masa pencapresan itu sudah seharusnya diatur secara jelas. Selain untuk menjaga keseimbangan politik parlemen, adanya pengaturan koalisi yang mengikat itu juga penting untuk menjaga stabilitas koalisi pendukung pemerintah agar tidak pecah di tengah jalan. Sebab, jika perpecahan itu terjadi pada koalisi pendukung pemerintah, jalannya roda politik pemerintahan bukan hanya akan terganggu dan tidak efektif, tetapi juga terancam bubar.

Baca Juga :  Berikut 11 Bacakada di Jatim yang Telah Kantongi Surat Tugas DPP PDI Perjuangan

Menurut sejarah, perpecahan koalisi pemerintah memang hanya baru terjadi di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid yang berakhir dengan penjatuhan dirinya dari jabatan Presiden. Beberapa konflik kepentingan yang terjadi belakangan hanya menimbulkan retakan-retakan kecil, tidak sampai menimbulkan perpecahan. Akan tetapi, meski demikian bukan berarti perpecahan koalisi pemerintah sudah tidak mungkin terjadi. Potensi akan adanya perpecahan dalam koalisi pemerintah sangatlah besar mengingat keberadaannya tidak terikat dengan aturan mana pun. Jadi, memang harus segera diatur.


Dan, usul penulis, guna mengatur keberadaan koalisi agar stabil, tidak rapuh dan tidak mudah pecah, “institusionalisasi koalisi” adalah langkah politik yang bisa ditempuh.


Institusionalisasi Koalisi

Dan, usul penulis, guna mengatur keberadaan koalisi agar stabil, tidak rapuh dan tidak mudah pecah, “institusionalisasi koalisi” adalah langkah politik yang bisa ditempuh. Artinya, keberadaan koalisi –yang selama ini bersifat informal– perlu didorong menjadi organisasi politik formal dengan aturan yang jelas dan mengikat. Dengan begitu, keberadaan koalisi yang terbentuk sejak masa pencapresan akan awet.

Pandangan ini sejalan dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap makna koalisi yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dalam Putusan No. 14/PUU-XI/2013 MK menyebutkan koalisi yang terbentuk pada masa pencapresan seharusnya stabil dan bersifat jangka panjang. Koalisi yang bersifat jangka panjang itu, menurut MK adalah untuk mendorong sistem pemilihan presiden yang menguatkan sistem presidensial sebagaimana dikehendaki UUD 1945.

Baca Juga :  MH Said Abdullah Ajak Masyarakat Utamakan Persatuan dalam Menyambut Pemilu 2024

Kemudian, langkah selanjutnya yang mesti dilakukan adalah mengatur keberadaan koalisi. Hemat penulis –agar efektif dan efisien– keberadaan koalisi cukup dibatasi dua saja, laiknya sistem presidensial dwi-partai. Terkait jumlah keanggotaan koalisi, juga harus ada pembatasan ideal namun bersifat dinamis tergantung jumlah partai politik peserta Pilpres. Jika pada Pilpres 2024 akan ada 10 partai yang memenuhi syarat menjadi peserta Pilpres, misalnya, maka desain ideal pembatasan keanggotaannya adalah 5-5, dan itu bersifat permanen sampai satu kali masa jabatan presiden selesai.


Dengan demikian, Pilpres akan melahirkan dua kekuatan politik yang seimbang, khususnya di parlemen: satu sama lain tidak akan ada yang mendominasi.


Sedangkan terkait dengan partai-partai baru yang lolos parlementary threshold dan mendapatkan kursi di parlemen, keberadaannya bisa diatur untuk bergabung dengan koalisi permanen yang telah ada. Tentunya, dengan tetap memperhatikan prinsip penyeimbangan komposisi politik parlemen. Dengan demikian, Pilpres akan melahirkan dua kekuatan politik yang seimbang, khususnya di parlemen: satu sama lain tidak akan ada yang mendominasi.

Presiden terpilih –dengan dukungan kuat dari koalisi pendukungnya– tetap dapat menyukseskan agenda-agenda politiknya. Sementara parlemen, dengan keberadaan koalisi permanen non-pemerintah itu, juga bisa aktif menjalankan fungsinya. Dengan demikian, setiap kebijakan politik akan mengalami proses pematangan yang sempurna di dapur parlemen hingga benar-benar menjadi kebijakan yang ideal. Wallahu ‘Alam.

Berita Terkait

Konsisten Dorong Program Rumah Murah, BTN Mendapatkan Apresiasi
Bacabup dan Bacawabup FAHAM Selesai Ikuti Tes Kesehatan, H. Fauzi: Alhamdulillah Berjalan Lancar
Menuju KPU, Pasangan Kiai Fikri-Kiai Unais Diantar Puluhan Ribu Pendukungnya
Paslon Fauzi-Imam Hasyim Diantar KH. Ramdhan Siradj Saat Mendaftar ke KPU Sumenep
Paslon FINAL Juga Daftar Besok ke KPU Sumenep, Berikut Rute Keberangkatannya
Kumpul di Asta Tinggi, Pasangan Fauzi-Imam Hasyim Daftar Besok ke KPU Sumenep
Duet Kiai Ali Fikri dan Kiai Unais Dapat Tiket Maju di Pilkada Sumenep 2024
Rekom Gerindra untuk Pasangan Fauzi-Imam di Pilkada Sumenep

Berita Terkait

Sabtu, 7 September 2024 - 13:00 WIB

Konsisten Dorong Program Rumah Murah, BTN Mendapatkan Apresiasi

Sabtu, 31 Agustus 2024 - 15:30 WIB

Bacabup dan Bacawabup FAHAM Selesai Ikuti Tes Kesehatan, H. Fauzi: Alhamdulillah Berjalan Lancar

Kamis, 29 Agustus 2024 - 14:10 WIB

Menuju KPU, Pasangan Kiai Fikri-Kiai Unais Diantar Puluhan Ribu Pendukungnya

Kamis, 29 Agustus 2024 - 10:00 WIB

Paslon Fauzi-Imam Hasyim Diantar KH. Ramdhan Siradj Saat Mendaftar ke KPU Sumenep

Rabu, 28 Agustus 2024 - 19:00 WIB

Paslon FINAL Juga Daftar Besok ke KPU Sumenep, Berikut Rute Keberangkatannya

Berita Terbaru