Keragaman identitas (suku, agama, etnisitas, rasa, dan budaya) adalah sebuah keniscayaan. Hampir semua negara yang berada dalam teritori gagasan negara bangsa (nation state) memiliki keragaman identitas itu. Amerika Serikat, misalnya, selain ditempati etnis/ras kulit putih dan kulit hitam yang sangat dominan, juga ada beberapa etnis/ras yang menghuni Amerika Serikat, seperti Afrika-Amerika, Asia-Amerika, Prancis-Meksiko, dan Afrika-Prancis.
Dalam konteks Indonesia, keragaman identitas itu juga sangat lekat dan tak terhindarkan. Beragam suku, etnis, agama, dan budaya, menjadi bagian tak terpisahkan dari gagasan keindonesiaan itu sendiri. Bahkan, bisa dikatakan, dengan bentuk negara persatuan, bukan federal, sejak awal Indonesia memang didesain sebagai negara yang menjadi rumah bagi setiap keberagaman etnis yang ada.
Itulah sebabnya mengapa negara ini didirikan sebagai ”Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Bukan Negara Jawa, Negara Aceh, Negara Papua, Negara Madura, dan lain sebagainya yang sangat kental dengan nuansa kesukuan. Itu semua karena founding fathers kita menyadari bahwa sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam bangsa, suku, ras, etnis, agama, dan budaya adalah tidak mungkin mendirikan negara dengan menempatkan salah satu etnis atau suku secara dominan atau superior.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
’Indonesia’ sebagai Identitas Nasional
Karena itu, ketika kita berbicara masalah Indonesia, maka seyogyanya tidak ada Jawa, Tionghoa, Madura, Betawi, Batak, dan yang lainnya. Yang ada hanyalah Indonesia. Penegasian etnisitas ini bukan dalam maksud yang negatif: (menghilangkan keragaman identitas), tetapi dalam maksud yang positif, yakni sebagai sebuah cara untuk memelihara persatuan dan kesatuan dengan cara menegasikan ego sektoral dan egosentrisme yang selama ini masih mengakar kuat.
Bahkan, lebih daripada ego sektoral itu, beberapa kasus yang terjadi pertentangan dan konflik antar etnis sampai berujung pada konflik terbuka seperti penjarahan, pembunuhan, dan aksi-aksi vandalisme lainnya. Kekerasan terhadap etnis, di Indonesia, salah satunya sering dialami oleh etnis Tionghoa/China. Yang bukan hanya mengalami diskriminasi dan kekerasan verbatim, tetapi juga sering mengalami ancaman serius berupa pembunuhan, penjarahan, pelecehan, dan lain semacamnya.
Menjadi Indonesia adalah Menjadi Indonesia
Menjadi Indonesia adalah menjadi Indonesia. Artinya, untuk menjadi Indonesia, kita tidak perlu memposisikan ras dan etnis tertentu secara superior dan merendahkan ras dan etnis lain pada saat bersamaan. Sebab, semuanya adalah Indonesia. Yang semuanya memiliki hak dan kedudukan yang sama sebagai warga negara Indonesia. Meski beberapa etnis, sebut saja etnis China, merupakan etnis pendatang, tetapi selama ia memiliki komitmen keindonesiaan, maka sudah sepantasnya bagi mereka untuk diperlakukan secara adil.
Sejarah menunjukkan, selama berabad-abad, etnis China di Indonesia telah menjadi bagian dari keindonesiaan itu sendiri. Keberadaannya, bukan hanya ada untuk ada, tetapi juga telah memberi warna tersendiri bagi Indonesia, baik di bidang politik, hukum, ekonomi, kebudayaan, dan yang lain sebagainya. Karena itu, kini, semua etnis, sudah saatnya untuk menyatukan tekad dalam bingkai keindonesiaan. Bahwa dalam keberagaman identitas etnis dan suku, kita bisa membangun Indonesia yang lebih baik.
Belajar dari Amerika Serikat
Amerika Serikat adalah negara yang memiliki hukum kewarganegaraan yang sangat terbuka. Amandemen Konstitusi Amerika Serikat yang ke 18 menjamin hak setiap yang lahir di Amerika Serikat untuk menjadi warga Amerika. Dan, itu sebabnya mengapa beragam ras hidup di Amerika. Namun, meski secara konstitusional Amerika menempati negara paling terbuka soal kewarganegaraan, namun Amerika adalah negara yang paling rasis pada saat bersamaan.
Hal itu karena ras kulit putih merasa sebagai warga negara yang paling superior secara sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan. Akibatnya, konflik, kekerasan, dan bahkan pembunuhan, sangat akrab di Amerika Serikat. Konstitusi yang mengatur tentang hak kewarganegaraan secara inklusif, gagal diterjemahkan dalam kehidupan sosial masyarakat Amerika Serikat. Aturan itu hanya menjadi gagasan emas dalam teks.
Indonesia juga memiliki gagasan emas terkait keberagaman itu. Dengan falsafah Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang menghargai kemanusiaan dan persatuan, Indonesia juga hendak menjadi negara yang menghargai keberagaman yang ada. Karena itu, sebelum keragaman identitas menghancurkan cita-cita kita akan persatuan, mari belajar dari kasus Amerika Serikat. Bahwa rasisme dan ego sektoral akan menghancurkan cita-cita kebhinekaan kerukunan bangsa.
Meski beragam, yang China, yang Jawa, yang Sumatera, yang Betawi, yang Papua, yang Arab, selama punya komitmen terhadap keindonesiaan, maka semuanya adalah Indonesia. Identitas alamiah yang melekat pada diri kita masing-masing, bukanlah penghalang bagi kita semua untuk menjadi Indonesia.