NOLESA.com—Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Pancasila sekaligus Hari Libur Nasional. Penetapan 1 Juni sebagai Hari Pancasila itu didasarkan pada pidato Bung Karno di sidang BPUPKI tepat pada 1 Juni 1945.
Kala itu, Bung Karno mengusulkan agar negara Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yaitu:
1. Kebangsaan
2. Internasionalisme, peri-kemanusiaan
3. Permusyawaratan, perwakilan, mufakat
4. Kesejahteraan
5. Ke-Tuhanan
Menurut Kiai Masykur, Komandan Pasukan Sabilillah, yang juga ikut dalam diskusi penggalian nilai-nilai Pancasila itu, umat Islam memiliki sumbangan penting dalam proses kelahiran Pancasila itu.
Berikut kesaksian Kiai Masykur perihal sumbangsih umat Islam terhadap kelahiran Pancasila dikutip dari karya Andree Feillard (2017) yang berjudul: NU vis-a-avis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna:
… di rumahnya Mohammad Yamin, Saya, Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin. Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu.
-Lantas Bung Karno tanya: ‘Ada apa?’
‘Kita ini ingin dasar Islam tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira umat Islam bela tanah air, tapi pecah? ‘
-Bung Karno katakan: ‘Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini?’
-Yamin mengatakan: ‘Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan. Minta keselamatan, minta apa begitu.’
-Lantas Bung Karno katakan: ‘Nah!, ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, Cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, iti mencari Tuhan,’ kata Bung Karno. Kalau begitu, negara kita dari dulu itu sudah ketuhanan…!
-Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau waktu makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu….’
-Kalau begitu, kata Bung Karno, ‘bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang peri-kemanusiaan. Satu sama lain suka menolong. Kerja sama, perikemanusiaan.
-Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita…: Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Si Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah putri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah, ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya, benar, benar ini memang.
-Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: ‘Siapa dulu?’
-Kahar Muzakir lontarkan: ‘Ada orang budayanya tidak mau dipersentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang, dilemparkan saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam harus diserahkan dengan baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya itu tadi.’
-Lantas, sampai kepada orang Indonesia itu dulu, orang Jawa itu dulu, suka memberi apa-apa dengan tangannya. Kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah ini, kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini. Jadi orang Jawa dulu, kalau masak di rumah, minta garam pada tetangga… ini diusulkan Bung Karno… ini namanya tolong menolong. Gotong royong. Lantas, ada lagi, bangsa Jawa itu dulu, sampai kepada ada lima itu. Begini, kalau ada apa, kumpul orang-orang desa itu. Satu sama lain, tanya bagaimana baiknya begini, baiknya begini. Ini dikatakan Bung Karno musyawarah. Jadi bangsa kita itu dulu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya muafakatan, kalau menamakan anaknya dinamakan siap mufakatan, yang diambil suara biasanya yang tertua. Bung Karno katakan musyawarah perwakilan. Lantas perkara orang Jawa itu dulu, kalau diminta apa-apa, minta apa-apa dikasihkan. Sampean minta apa, biar di sini habis, diberikan. Solidaritas sosialnya. Lalu ditanyakan kepada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban zakat, kita memberikan sama fakir miskin, yang kaya memberikan ke fakir miskin, jadi sampai lima itu. Kesimpulan lima tadinya mau ditambah, tapi kita umat Islam mengatakan, rukun Islam itu lima, jadi lima ini saja bisa dikembangkan satu per satu, tapi jangan ditambah. Hitungannya supaya bisa lima. Ramai… dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai subuh. Ini oleh Bung Karno dijadikan Pancasila, menggantikan dasar Islam negara. Kita umat Islam mengatakan kalau dasar Islam itu isimnya diambil… Sila-sila itu musamahnya Islam, isi Islam, isim Islam, musamahnya, Pancasila. Saya Wahid Hasyim….
-Lantas Bung Karno katakan: ‘Mau saya usulkan, Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau!’ (Kiai Maskur ketawa menirukan Bung Karno), Awas!’
Kita tak boleh bantah. Lantas diusulkan Bung Karno itu. Lima sila itu. Saya pikir waktu itu dengan kawan-kawan, Pak Yusuf Hasyim apa, kalau dasar Islam belum tentu menjalankan Islam. Kadang-kadang negara ada tokoh Islam, atau praktiknya tidak Islam. Ini kita ambil musamahnya, isimnya kita tinggalkan.
Demikian kesaksian Kiai Masykur yang termuat dalam buku NU vis-a-avis Negara karya Andree Faillard itu. (*)