Generasi dalam Sekat: Menolak Kategorisasi yang Menyederhanakan Realitas

Redaksi Nolesa

Sabtu, 31 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(for NOLESA.COM)

(for NOLESA.COM)

Oleh | Alya Khairunnisa

ESAI, NOLESA.COM – Pada dasarnya pembatasan terhadap suatu generasi sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam. Generasi umumnya dikelompokkan berdasarkan tahun kelahiran yang kemudian dikaitkan dengan karakteristik sosial, budaya, dan tekonologi yang menguasai pada masanya.

Kelompok pertama yang banyak diketahui masyarakat adalah generasi Baby Boomers (1946 – 1964), yang kemudian disusul dengan generasi X (1965 – 1980), generasi Y atau Milenial (1981-1996), generasi Z (1997 – 2012), hingga pada saat ini telah memasuki era generasi Alpha (2013 – sekarang).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain pengelompokan menurut tahun lahirnya, generasi juga dikelompokkan berdasarkan peran sosial yang dihadapi suatu individu. Hal tersebut merujuk pada salah satu kelompok generasi yang akhir-akhir ini kerap disebutkan namanya, yaitu generasi sandwich atau dalam bahasa Indonesia disebut generasi roti lapis.

Istilah tersebut sudah tercipta sejak tahun 1980-an oleh Dorothy Miller dan Elaine Brody. Individu-individu yang masuk ke dalam kelompok generasi tersebut adalah individu yang berada diantara jepitan tanggung jawab keluarga dan mimpi yang ingin mereka raih.

Dengan kata lain, generasi roti lapis ini merupakan kelompok generasi yang menggendong dua beban sekaligus di pundaknya. Lebih spesifiknya, generasi roti lapis akan menanggung kebutuhan ekonomi generasi di atasnya dan untuk hidupnya sendiri.

Jika dikaitkan dengan kelompok generasi berdasarkan tahun lahirnya, generasi roti lapis melekat pada generasi Baby Boomers hingga generasi Z yang saat ini masih berusia produktif yaitu 15-65 tahun. Generasi-generasi sebelumnya banyak membebankan tanggungan mereka ke generasi di bawahnya dan hal tersebut dilakukan secara turun-temurun.

Pengelompokan generasi seperti di atas menumbuhkan stereotip baru di tengah kehidupan bermasyarakat yang kemudian menormalisasikan kelompok-kelompok tersebut untuk terus ada. Selanjutnya, hal tersebut menjadikan realita-realita yang ada tertutup dengan stereotip yang lebih dulu tumbuh.

Baca Juga :  Ikan Buntal, Mem-Bendung Racun

Dapat dibayangkan, beban ganda berusaha dipikul seorang pemuda yang baru saja merayakan kelulusannya sebagai sarjana dan sedang mengusahakan mimpi-mimpinya. Belum sempat ia menikmati hasil, justru sudah harus mengatur keuangannya dengan seketat mungkin.

Sebagian besar penghasilan yang baru didapatnya harus dikelompokkan ke dalam kantong-kantong kecil yang dibebankan kepadanya. Satu di antara kantong-kantong tersebut adalah tabungan miliknya yang bahkan sering tidak terisi.

Adanya stereotip yang tumbuh, semakin membatasi individu yang terjebak dalam generasi roti lapis tersebut. Keegoisannya untuk mengutamakan kehidupan layak di masa mendatang harus dibayang-bayangi hutang budi terhadap generasi sebelumnya yang merawat, mendidik, dan membesarkannya.

Kedua hal yang sayangnya tidak dapat berjalan bersamaan jika tidak diimbangi dengan pemasukan yang berkali-kali lipat dari UMR suatu daerah.

Populasi Klasifikasi Generasi di Indonesia

Keinginan untuk memutus rantai setan yang diturunkan dari generasi-generasi sebelumnya agar tidak menjadikan beban bagi generasi selanjutnya sulit untuk dilakukan akibat adanya stereotip yang tumbuh dan pertumbuhan penduduk yang cepat.

Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong cepat. Dikutip dari populationtoday.com saat ini, Indonesia memiliki kurang lebih 285 juta penduduk dan akan terus bertambah. Pertumbuhan penduduk yang cepat dan dengan adanya pengelompokan individu ke dalam generasi tertentu menjadi beban tersendiri.

Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi bahwa pada tahun ini, sebanyak 67,90 juta penduduk yang tergolong ke dalam usia produktif (15 – 65 tahun). Sejumlah penduduk tersebut yang nantinya akan menjadi tulang punggung bagi usia non produktif. Hal tersebut juga didukung oleh survei Litbang Kompas pada tahun 2022 dengan melibatkan sebanyak 504 responden dari seluruh provinsi di Indonesia yang usianya di atas 17 tahun.

Baca Juga :  Demagog UU Ciptaker dalam Izin Pertambangan: Kemudahan Investasi atau Pengkhianatan terhadap Rakyat

Survei tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2022 generasi yang paling banyak menjadi golongan generasi roti lapis adalah generasi Y atau Milenial dengan usia 24 – 39 tahun. Tiga tahun terlewati, tentunya terjadi perubahan struktur usia.

Saat ini, generasi Z telah berada di kisaran usia 20 tahunan, yang mana sebagian besar dari mereka sedang merintis karirnya untuk kehidupan di masa depan, namun di saat yang bersamaan mereka juga sedang berada di himpitan ekonomi, menjadi tulang punggung menggantikan generasi milenial.

Individu yang terjebak dalam generasi roti lapis sebagian besar berasal dari kaum menengah ke bawah. Hal tersebut dibuktikan oleh survei Litbang Kompas yang menyatakan sebanyak 4 dari 10 golongan menengah kebawah yang merasakan hal tersebut.

Namun beban klasifikasi generasi tidak hanya membatasi kaum menengah ke bawah, melainkan juga menengah ke atas namun tidak sebanyak golongan menengah ke bawah. Bayangkan, jika dua golongan tersebut sudah merasakan beban dari klasifikasi generasi, lantas bagaimana keadaan golongan bawah?

Dampak Klasifikasi Generasi

Klasifikasi generasi baik yang didasarkan oleh usia maupun peran sosial, akan menimbulkan dampak yang siginifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Individu yang merasakan beban dari klasifikasi generasi akan rentan berkonflik dengan dirinya sendiri yang tentunya menimbulkan dampak buruk, seperti stress, penurunan produktivitas, hingga depresi (Khalil & Santoso, 2022).

Pengelompokan generasi dapat menimbulkan pembentukan identitas dan perbedaan budaya tentang sudut pandang dari setiap generasi ketika memandang dunia.

Selanjutnya, pengelompokan tersebut juga menurunkan kepercayaan diri seseorang dalam memandang dirinya sendiri. Tekanan dari berbagai sudut ditambah dengan tanggung jawab yang dipikul akan berpengaruh pada kesehatan mental seorang individu.

Baca Juga :  Problematika Hukum Batas Usia 58 Tahun untuk Calon Sekda Kabupaten/Kota

Merasa memiliki banyak tanggungan, individu yang menganggap dirinya sebagai seorang penanggungjawab akan bekerja lebih ekstra tanpa memikirkan dirinya sendiri. Hal tersebut memicu penurunan kinerja terhadap suatu pekerjaan yang akan menimbulkan masalah yang lebih besar.

Pada aspek sosial, individu yang mengalami klasifikasi generasi akan merasa cemas ketika berinteraksi dengan orang lain yang kemudian akan memengaruhi cara pandang Masyarakat terhadap seorang individu. Hal tersebut juga akan menimbulkan pengucilan dalam kehidupan bermasyarakat.

Penolakan Klasifikasi Generasi

Klasifikasi generasi merupakan suatu pendekatan yang kerap digunakan untuk menggambarkan suatu kelompok generasi yang didasari oleh usia maupun peran sosial. Sayangnya, pendekatan tersebut malah menimbulkan permasalahan baru seperti stereotip yang tumbuh di masyarakat yang akhirnya membatasi ruang dari seorang individu.

Pengelompokan generasi sama dengan menggeneralisasi perilaku berdasarkan kelompoknya, padahal tidak semua memiliki perilaku yang sama meskipun satu kelompok. Hal tersebut juga memicu kesenjangan dalam diri setiap individu. Jika pengelompokan generasi terus diturunkan kepada generasi-generasi berikutnya, maka akan menimbulkan ketidakadilan bagi setiap individu.

Alih-alih berbaur dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, masyarakat justru terjebak dalam stereotip yang terbangun tanpa dasar ilmiah. Dengan demikian, klasifikasi generasi sebaiknya tidak dibebankan pada setiap individu. Semua manusia berhak atas hidupnya di masa mendatang tanpa adanya beban dari generasi sebelumnya.(*)

*Alya Khairunnisa atau kerap disapa Alya, mahasiswa S1 program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta. Perempuan kelahiran Yogyakarta, 30 September 2004 yang saat ini sedang menduduki bangku kuliah semester 6. Merupakan seorang penulis pemula yang berusaha memperbanyak karyanya melalui tugas-tugas perkuliahan dan juga aktif di berbagai organisasi mulai dari lingkup fakultas hingga lingkup universitas. 

Editor : Wail Arrifqi

Berita Terkait

Eksplorasi Budaya Suku Mentawai dalam Novel Burung Kayu Karya Niduparas Erlang
Mengulik Jejak Trauma, Kuasa, dan Ingatan Kolektif dalam Cerpen Musik Akhir Zaman Karya Kiki Sulistyo
Kritik Sastra Objektif Lapisan Cerita dalam Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari
Problematika Hukum Batas Usia 58 Tahun untuk Calon Sekda Kabupaten/Kota
Kegilaan, Harapan, dan Ketakutan: Analisis Sosiologis dari Naskah Drama Orang-Orang di Tikungan Jalan Karya W. S. Rendra
Demagog UU Ciptaker dalam Izin Pertambangan: Kemudahan Investasi atau Pengkhianatan terhadap Rakyat
Polemik Ijazah Palsu: Ironi Administrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah
Ketika Pagi Tak Sekadar Bahagia: Sebuah Analisis Objektif terhadap Naskah Drama Bangun Pagi Bahagia karya Andy Sri Wahyudi

Berita Terkait

Senin, 16 Juni 2025 - 02:58 WIB

Eksplorasi Budaya Suku Mentawai dalam Novel Burung Kayu Karya Niduparas Erlang

Jumat, 13 Juni 2025 - 22:26 WIB

Mengulik Jejak Trauma, Kuasa, dan Ingatan Kolektif dalam Cerpen Musik Akhir Zaman Karya Kiki Sulistyo

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:21 WIB

Kritik Sastra Objektif Lapisan Cerita dalam Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari

Kamis, 12 Juni 2025 - 21:38 WIB

Problematika Hukum Batas Usia 58 Tahun untuk Calon Sekda Kabupaten/Kota

Kamis, 12 Juni 2025 - 11:15 WIB

Kegilaan, Harapan, dan Ketakutan: Analisis Sosiologis dari Naskah Drama Orang-Orang di Tikungan Jalan Karya W. S. Rendra

Berita Terbaru

(for NOLESA.COM)

Resensi Buku

Cinta Habis di Orang Lama itu Nyata Adanya

Sabtu, 14 Jun 2025 - 02:07 WIB