Demokrasi Omong Kosong dan Gejala Otoritarianisme Indonesia

Redaksi Nolesa

Kamis, 28 Juli 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Wasila*)

Demokrasi sebagai darah daging negara dapat penulis artikan sebagai sebuah kemerdekaan. Merdeka berarti bebas, tidak lagi terjajah. Kebebasan mempergunakan pikiran dan suara tanpa adanya campur tangan satu dua orang atau kelompok dalam menyuarakan pendapat serta aspirasinya.

Namun demikian, ada saatnya kemerdekaan yang di maksud bisa kapan saja terjajah apabila kita mau dijadikan objek eksploitasi penguasa. Dengan dalih atas nama dan kepentingan rakyat, masyarakat menjadi objek eksploitasi kekuasaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari definisi Lincoln bisa diartikan bahwa demokrasi merupakan sistem yang mengutamakan suara rakyat sebagai warga negara dalam melakukan pemerintahan.

Dalam teorinya tentang demokrasi, Hans Kelsen menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah proses yang berkelanjutan menuju kesempurnaan. Ide ini berawal dari kata ‘kebebasan’ yang ditempatkan dalam konstruksi kemasyarakatan dapat dianalogikan menjadi prinsip penentuan kehendak sendiri (Thalhah, 2008).


Demokrasi sebagai salah satu janji reformasi juga sebagai keinginan untuk menjadi negara yang mampu menampung seluruh aspirasi warga negara lambat laun hanya menjadi isapan jempol belaka.


Sebagai negara demokrasi, perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari bukti normatif dan empirik. Bukti normatif dapat dilihat dari adanya UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Bukti yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

Baca Juga :  Black Champaign, Negative Champaign dan Ancaman Polarisasi

Bukti empirik Indonesia sebagai negara demokrasi dapat lihat dari adanya pemilihan umum (pemilu), dari tingkat pusat sampai daerah. Ada nilai yang kemudian tertuang bahwa demokrasi berarti universal, yang artinya dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Demokrasi sebagai salah satu janji reformasi juga sebagai keinginan untuk menjadi negara yang mampu menampung seluruh aspirasi warga negara lambat laun hanya menjadi isapan jempol belaka, sangat banyak aspirasi yang kemudian hanya menjadi suara sumbang dan bahan taruhan antara masyarakat dengan pemerintahannya.

Ketimpangan-ketimpangan di lapangan bertajuk demokrasi lambat laun juga menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi yang kering substansi dan esensi.

Mari kita sedikit melihat praktek demokrasi Indonesia dari perspektif pemilu. Secara filosofis, pemilu merupakan perwujudan sistem demokrasi, di mana rakyat dapat turut berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Melalui pemilu rakyat memilih wakilnya untuk kemudian duduk dalam kursi parlemen, dan dalam struktur pemerintahan.

Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa pemilu sesungguhnya tak lain adalah sebuah usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tanpa paksaan) melalui kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobi-lobi, maupun kegiatan-kegiatan lain.

Baca Juga :  Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Identitas Bangsa di Tengah Gempuran Ideologi Transnasional!

Pemilu dan masa depan demokrasi sebagai tombak dan akar negara demokrasi layaknya bisa menjadi tameng atas berlangsungnya kontestasi elite yang melejit. Pemilu sebagai ajang kontestasi di negara demokrasi menjadi gaungan sekaligus menjadi jerit masyarakat sebagai ladang panen suara yang menjadi taruhan kesejahteraan hidup masyarakat. Adanya kata demokrasi nyatanya tidak cukup mewakilkan kebebasan dalam menentukan pilihan.

Banyaknya ketimpangan yang terjadi merupakan bentuk pemerintah yang fasis sehingga melahirkan negara buruk dan otoriter. Hal demikian telah kita saksikan, sebagaimana dewasa ini, orientasi pemerintah dalam membangun bangsa Indonesia hanya untuk kepentingan korporat. Melahirkan hutang-hutang, aset negara terjual atau privatisasi, rakyat digusur dan diintimidasi.


Bukan tidak mungkin pemilu di Indonesia yang mengibaratkan masyarakat semua sedang berada dalam kondisi riding the tiger yakni berada dalam situasi di mana kita dihadapkan pada kondisi yang problematik.


Keterlibatan masyarakat yang seharusnya ada telah kamuflase dengan begitu saja. Jika pun ada kelompok masyarakat yang dilibatkan, itu adalah kelompok masyarakat yang yang telah menjadi bagian dari otoritarianisme sehingga ada persetujuan dengan diam-diam. Tidak berlebihan jika penulis mengatakan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi dijadikan seperti hantu bergentayangan, atau malah menjadi bahan judi dalam meja politik.

Baca Juga :  Manuver Taktis Surya Paloh, Prabowo & Jokowi Saling Intip…"

Praktek demokrasi pada pemilu di Indonesia yang melibatkan masyarakat sebagai ladang panen suara dihadapkan dengan fenomena dinamika dan realitas politik menjadi menarik untuk dicermati. Bukan tidak mungkin pemilu di Indonesia yang mengibaratkan masyarakat semua sedang berada dalam kondisi riding the tiger yakni berada dalam situasi di mana kita dihadapkan pada kondisi yang problematik.

Jika pilihan atas dasar kepentingan kelompok tersebut gagal menciptakan konsolidasi demokrasi kekhawatiran akan kembalinya otoritarianisme semakin terbuka lebar, dan sebaliknya jika pun berhasil mengangkat an menjadikan seorang pemimpin baru dengan dinamika serta cita-cita sebagaimana Indonesia pada kepentingan rakyat maka optimisme terhadap terciptanya konsolidasi demokrasi juga masih diragukan namun ada harapan bagaimana praktek demokrasi ini menjadi awal ada kemerdekaan.

Terakhir, fokus demokrasi sebagai usaha membangun masyarakat dengan menjadikan kepentingan khalayak sebagai hal yang fundamental sekaligus tolak ukur dari adanya demokrasi yang sampai saat ini masih dirasa tabu dan pantas kiranya disebut demokrasi omong kosong. Realita mengatakan bahwa demokrasi sebagai taruhan politik sekaligus menjadi demokrasi omong kosong, demokrasi adalah satu cara untuk mengelola kepentingan.

*) Wasila, mahasiswa STKIP PGRI Sumenep


Editor: Ahmad Farisi

Berita Terkait

Anies Baswedan dan Partai Baru
Refleksi HUT RI Ke-79: Mengapa Bung Karno Memilih Bentuk Negara Kesatuan?
KPK dalam Jeratan Desentralisasi Korupsi
Dilarang Membuang Sampah di Sini
Cegah Politik Uang dalam Pilkada 2024
Dicari: Calon Kepala Daerah Berintegritas!
Perlu Bersepakat untuk Kondusif
Kegagalan Data Sosial, Ironi Kesejahteraan Pamekasan

Berita Terkait

Selasa, 3 September 2024 - 08:59 WIB

Anies Baswedan dan Partai Baru

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 10:13 WIB

Refleksi HUT RI Ke-79: Mengapa Bung Karno Memilih Bentuk Negara Kesatuan?

Sabtu, 3 Agustus 2024 - 05:03 WIB

KPK dalam Jeratan Desentralisasi Korupsi

Rabu, 31 Juli 2024 - 21:10 WIB

Dilarang Membuang Sampah di Sini

Rabu, 31 Juli 2024 - 05:05 WIB

Cegah Politik Uang dalam Pilkada 2024

Berita Terbaru