Opini
Awas Politik Identitas!
Identitas keagamaan masih sering dipolitisasi untuk mendongkrak suara elektoral para kontestan

Opini, NOLESA.com — Presiden Jokowi kembali mengingatkan agar kita terus waspada akan ancaman politik identitas. Kekhawatiran dan kegamangan Presiden Jokowi akan ancaman politik identitas itu ditegaskan dalam sambutannya pada acara Konsolidasi Nasional Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Sabtu (17/12/2022). Presiden Jokowi meminta agar penyelenggara Pemilu tidak memberi ruang kepada praktik politik identitas dan segala bentuk politisasi agama.
”Kita tidak bisa bersantai-santai dengan politik identitas, politisasi agama, politik SARA, jangan berikan ruang apa pun kepada ini, ini sangat berbahaya sekali. Ini bisa menjadi peluang pihak lain untuk memecah belah keutuhan negara kita, keutuhan kita sebagai sebuah bangsa,” tegas Presiden Jokowi dalam sambutannya.
Sebelumnya, dalam Pidato Kenegaraannya di Rapat Tahunan MPR RI yang dilaksanakan pada Selasa (16/8/2022) Presiden Jokowi juga telah mengingatkan agar tidak ada lagi politisasi agama. ”Tahapan pemilu yang dipersiapkan KPU harus kita dukung sepenuhnya. Saya ingatkan, jangan lagi ada politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial,” kata Jokowi.
Peringatan Presiden Jokowi akan bahaya politik identitas itu memang perlu menjadi renungan dan perhatian bersama. Pada tataran regulasi, gerakan dan mobilisasi politik dengan memanfaatkan simbol-simbol dan narasi-narasi keagamaan telah dengan jelas tidak diperbolehkan, dilarang.
Aturan itu telah tertulis dengan jelas. Akan tetapi, dalam pada kenyataannya, masih banyak pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang berkaitan dengan hal itu. Identitas keagamaan masih sering dipolitisasi untuk mendongkrak suara elektoral para kontestan.
Sejauh ini, menjadikan identitas keagamaan sebagai bungkus politik memang masih sangat seksi. Selain itu, kenyataan juga memperlihatkan bahwa penggunaan identitas keagamaan cukup efektif untuk mendongkrak perolehan suara.
Karena itu, tak heran bila banyak politisi masih terpesona dengan kampanye yang memanfaatkan identitas agama sebagai bahan bakar itu. Karena hasilnya memang cukup memuaskan dan menjanjikan untuk meraih sebuah kemenangan.
Akan tetapi, meski demikian, kita harus menyadari bahwa kontestasi elektoral bukan semata soal menang belaka, tetapi juga tentang bagaimana proses politik berlangsung secara damai dan aman.
Oleh sebab itu, meski penggunaan identitas keagamaan itu pada kenyataannya cukup ampuh sebagai model kampanye, keberadaannya harus kita hindari. Jangan sampai memanfaatkan identitas keagamaan sebagai cara untuk mendulang suara.
Dalam negara demokrasi, semua orang memang berhak memperjuangkan hak-haknya. Akan tetapi, semuanya mesti dilalui dengan cara-cara yang sehat, yang tidak menimbulkan perpecahan dan konflik.
Belajar pada Pilpres 2019 dan Pilkada DKI 2017
Karena itu, pengalaman Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 haru menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Pada Pilkada DKI (2017) dan Pilpres 2019 penggunaan identitas keagamaan untuk meraih suara dan dukungan terjadi dengan begitu masif.
Akibatnya, terjadi polarisasi besar-besaran dalam tubuh kebangsaan kita. Hingga muncul julukan-julukan tak elok antarpendukung yang terkenal dengan sebutan ”Cebong” dan ”Kampret”.
Tidak berhenti di isu Pilkada DKI (2017) dan Pilpres 2019, polarisasi itu terus membengkak ke aspek-aspek yang lain. Bahkan, pembelahan itu masih dapat kita rasakan hingga kini.
Di media sosial, misalnya, kubu-kubu politik itu masih terus menyebarkan sentimen. Bahkan, lebih dari itu, provokasi, kebencian, hasutan juga masih dilakukan. Perang terus berlanjut, tanpa akhir.
Pemilu menyisakan problem yang tak berkesudahan. Pemilu, yang seharusnya menjadikan demokrasi kita semakin matang, justru malah terdistorsi dan mengalami kemunduran secara akut.
Karena itu, pada momentum politik 2024 jangan ada politisasi agama lagi. Politisasi agama adalah preseden buruk yang tak boleh kita warisi. Pilkada DKI (2017) dan Pilpres 2019 harus menjadi pelajaran penting bagi kita.
Untuk mensukseskan pemilu yang berintegritas dan bermartabat, kita memerlukan cara-cara yang sehat dan kreatif, tidak picik dan bertentangan dengan moral politik kebangsaan itu sendiri.
Kesadaran elite politik
Oleh karena itu, para elite politik mesti menyadari menggunakan identitas keagamaan untuk meraih suara adalah tindakan dengan resiko tinggi. Yang jika terus digunakan, akan membahayakan persatuan dan kesatuan anak-anak bangsa.
Para elite politik mesti menyadari dampak dan efek buruk yang akan terjadi dari penggunaan identitas keagamaan sebagai strategi kampanye. Semua itu harus diperhitungkan, jangan hanya memperhitungkan soal kemenangan semata.
Kesadaran elite politik adalah kunci. Jika para elite punya kesadaran untuk tidak menggunakan identitas keagamaan sebagai strategi kampanye, niscaya perpecahan tidak akan terjadi, niscaya pilpres tidak akan membawa perpecahan.
Akan tetapi, jika elite tidak memperhatikan semua itu, jelas penggunaan identitas keagamaan sebagai cara mendulang suara akan terjadi kembali seperti kasus-kasus sebelumnya. Dan perpecahan pun akan semakin menganga, meluas, dan melebar.

-
Mimbar5 hari ago
Melek Agama dan Politik Melalui Antologi Puisi Negeri Daging Karya Ahmad Mustofa Bisri
-
Cerpen5 hari ago
Suara Kematian (Cerpen Ramli Lahaping)
-
Mimbar6 hari ago
Pemilu: Partai Sibuk, Rakyat Santai
-
Puisi5 hari ago
Pulang- Puisi Muhammad Dzunnurain
-
Opini5 hari ago
Mengingat Kembali Sejarah Hari Guru Nasional
-
Peristiwa2 hari ago
Puskesmas Batang-Batang Diluruk Warga
-
Suara Perempuan1 hari ago
Cinta dan Ingatan Mutia Sukma: Wanita dengan Segala Bentuk Cintanya
-
Opini3 hari ago
Akikah