Oleh : Abd. Kadir
Dalam sebuah grup WA, ada teman yang mengirim tulisan seperti ini: “Ini asyik ejaannya… Saat mampir di warung pinggir jalan. Sebenarnya bukan mau mampir, hanya menunggu kawan yang mau ke acara. Seorang bapak yang lagi santai di warung, menyapa. “Masuk Mas, mau rujak, mau campur, pada bada”.
Tulisan di atas menjadi salah satu topik yang dibahas dalam grup. Frasa “pada bada” itu yang cukup menggelitik. Ada feomena memasukkan bahasa Madura yang seolah diinterferensi ke dalam bahasa Indonesia. Tetapi, yang jelas ini dipahami oleh para pemakainya. Artinya, mereka menangkap pesan komunikasi yang disampaikan dalam percakapan di atas. “Pada bada” itu bermakna “sama-sama ada”. “Rujak dan campur sama sama ada”.
Saya jadi teringat bahasa yang disampaikan Irwan DA-2 ketika dulu sempat ramai diperbincangkan bahasa ‘dikuliti’ yang dipakai Irwan DA-2 untuk menyebut diplester—merujuk pada rumahnya di Sumenep. Ucapan Irwan DA-2 ini sangat jujur dan spontanitas tanpa bermaksud untuk menginterferensi bahasa Indonesia. Artinya, Irwan DA-2 ingin membahasakan “rumah yang belum diplester” dengan bahasa “rumah yang belum dikuliti” karena bahasa Madura “diplester” itu “ekole’e” yang jika diterjemahkan secara lepas dalam bahasa yang “diangap” mewakili bahasa Indonesia itu, “dikuliti”. Ada upaya untuk menerjemahkan bahasa Madura ke dalam bahasa Indonesia dengan bahasa yang dianggap mudah dan bisa dipahami untuk masyarakat Madura dan masyarakat yang belum mengerti bahasa Madura dengan bahasa yang secara gamblang bisa dipahami dalam bahasa Indonesia.
Membincang fenomena di atas, maka sebenarnya ada bentuk kreolisasi bahasa yang telah disampaikan oleh Irwan DA-2 itu. Termasuk juga bahasa “pada bada” dalam frasa yang saya sebutkan di atas.
Mengapa kreolisasi bahasa? Apa itu kreolisasi bahasa?
Saya tidak bermaksud memberikan apologi terhadap apa yang disampaikan Iwan DA-2 dan tulisan frasa di atas. Tetapi, yang jelas ini sebentuk fenomena baru dalam kehidupan berbahasa kita. Kalau dalam perspektif kebahasaan, maka kehadiran bahasa daerah yang diindonesiakan itu masuk dalam interferensi bahasa. Tetapi, saya melihat dari perspektif lain, bahwa ternyata fenomena masyarakat yang majemuk dengan keragaman bahasa yang ada terkadang memaksakan diri untuk kreatif dalam menyampaikan bahasa dalam pemahaman yang mudah dan gamblang diterima oleh pemakainya yang notabene dalam konteks pemakai bahasa yang berbeda.
“Kreolisasi adalah proses bahasa reol dan budaya muncul. Kreolisasi dipakai pertama kali oleh ahli bahasa untuk menjelaskan bagaimana bahasa kontak menjadi bahasa kreol”
Saya melihat bahwa fenomena ini lebih mengarah pada kreolisasi bahasa. Kreolisasi adalah proses bahasa reol dan budaya muncul. Kreolisasi dipakai pertama kali oleh ahli bahasa untuk menjelaskan bagaimana bahasa kontak menjadi bahasa kreol.
Pada ranah ini, dipahami bahwa bahasa kreol itu adalah bahasa pijin atau bahasa kontak yang digunakan oleh orang-orang dengan latar belakang penutur bahasa yang berbeda-beda. Sebuah pijin biasanya memiliki tata bahasa yang sangat sederhana dengan kosakata dari bahasa yang berbeda-beda. Maka sekali lagi, ‘mengindonesiakan’ bahasa sebagaimana di atas, bisa diamini sebagai bentuk kreolisasi bahasa.
Inilah sebenarnya perkembangan bahasa yang perlu dilakukan kajian mendalam karena konteks kreolisasi bahasa ini pula biasanya akan terus mengalami perkembangan pada wilayah kebudayaan, karena Indonesia bukan hanya terdiri atas mutibahasa, melainkan juga dibangun dengan multibudaya. Oleh karena itu, tak bisa dielakkan bahwa pada saat ini, istilah kreolisasi ini juga sudah masuk pada wilayah penggambaran ekspresi budaya baru yang dihasilkan dari kontak antarkebudayaan, sebagaimana diterjemahkan para sarjana kebudayaan untuk mewakili konteks diaspora budaya. Ah, ada-ada saja!
Sekretaris BPBD Sumenep dan Pegiat Literasi
Editor : redaksi