21 Mei adalah tanggal yang sarat makna dalam sejarah Indonesia, sebuah hari yang mengingatkan kita pada keberanian dan semangat kebangkitan mahasiswa dan rakyat (civil society) yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter Soeharto pada tahun 1998.
Momen ini tidak hanya menjadi titik balik dalam perjalanan politik bangsa, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang absolut.
Kejatuhan Soeharto menandai akhir dari era Orde Baru yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade, sebuah periode yang ditandai dengan pemerintahan yang sentralistik, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela, serta pelanggaran hak asasi manusia yang luas.
Kebangkitan civil society pada saat itu adalah wujud nyata dari kekuatan rakyat yang bersatu demi perubahan, sebuah gerakan yang tidak hanya mengubah wajah politik Indonesia tetapi juga membangkitkan semangat demokrasi dan reformasi.
Gerakan mahasiswa yang memuncak pada 21 Mei 1998 adalah hasil dari akumulasi kekecewaan dan kemarahan yang telah lama terpendam di kalangan rakyat Indonesia.
Krisis ekonomi Asia pada akhir 1997 yang melumpuhkan perekonomian Indonesia menjadi katalis utama bagi gerakan ini. Nilai rupiah yang jatuh bebas, inflasi yang melambung tinggi, serta PHK massal membuat kondisi ekonomi semakin memburuk.
Rakyat yang semakin terhimpit oleh kesulitan ekonomi melihat bahwa pemerintahan Soeharto tidak lagi mampu mengatasi krisis tersebut.
Di tengah situasi itu, mahasiswa tampil sebagai pelopor perubahan, mengorganisir demonstrasi besar-besaran dan menggalang dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
Gerakan mahasiswa ini dimulai dengan serangkaian aksi protes di berbagai universitas di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Tuntutan mereka sederhana namun tegas: reformasi total di segala bidang.
Para mahasiswa ini menuntut pengunduran diri Soeharto, penghapusan KKN, penegakan hukum yang adil, dan pembentukan pemerintahan yang demokratis.
Demonstrasi yang awalnya bersifat sporadis dan terisolasi kemudian bereskalasi menjadi gerakan nasional yang masif.
Ribuan mahasiswa turun ke jalan, menduduki gedung-gedung pemerintah, dan menyuarakan aspirasi mereka dengan penuh keberanian.
Klimaks dari gerakan ini terjadi pada 12 Mei 1998, ketika tragedi Trisakti merenggut nyawa empat mahasiswa yang ditembak oleh aparat keamanan.
Peristiwa ini memicu gelombang protes yang lebih besar dan lebih marah. Rakyat dari berbagai lapisan, yang sebelumnya mungkin hanya sebagai penonton, kini bergabung dalam aksi-aksi protes.
Kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh aparat keamanan justru memperkuat tekad para demonstran untuk terus berjuang.
Hingga akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai presiden, sebuah momen yang menandai kemenangan gerakan reformasi.
Kejatuhan Soeharto tidak hanya mengakhiri era Orde Baru, tetapi juga membuka babak baru dalam sejarah Indonesia.
Era Reformasi yang dimulai setelah kejatuhan Soeharto membawa perubahan signifikan dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia.
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam periode ini memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, seperti pemisahan kekuasaan, check and balance, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Selain itu, desentralisasi kekuasaan yang diimplementasikan melalui otonomi daerah memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengelola urusan mereka sendiri, sehingga diharapkan bisa lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.
Mengenang peristiwa Reformasi yang terjadi pada 21 Mei 1998 mengingatkan kita bahwa perjalanan reformasi belum selesai. Meski banyak kemajuan yang telah dicapai, berbagai tantangan masih menghadang di depan.
Praktik KKN yang dulu diperangi masih terus menjadi masalah serius di berbagai sektor. Pelanggaran hak asasi manusia masih kerap terjadi, dan demokrasi yang kita perjuangkan masih sering kali diwarnai oleh politik uang dan kekuasaan yang cenderung oligarkis.
Oleh karena itu, spirit kebangkitan mahasiswa pada 1998 harus terus dipelihara dan dijadikan landasan untuk memperjuangkan perubahan yang lebih baik.
Dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, tantangan yang dihadapi Indonesia tentu semakin kompleks.
Namun, semangat kebangkitan mahasiswa pada 21 Mei 1998 memberi kita keyakinan bahwa dengan keberanian, solidaritas, dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, kita mampu menghadapi tantangan tersebut.
Kita harus terus bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita reformasi, memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak dan keadilan yang layak.
Mengenang 21 Mei tidak hanya tentang mengingat kejatuhan Soeharto dan keberhasilan gerakan mahasiswa, tetapi juga tentang merefleksikan perjalanan reformasi dan memperkuat tekad kita untuk terus berjuang demi Indonesia yang lebih baik.
Semangat dan keberanian para mahasiswa 1998 harus menjadi inspirasi bagi kita semua untuk melanjutkan perjuangan mereka.
Dengan menjaga semangat reformasi tetap hidup, kita bisa membangun Indonesia yang demokratis, adil, dan sejahtera, sesuai dengan cita-cita para pejuang reformasi.
Hanya dengan demikian, kita bisa menghormati pengorbanan mereka dan memastikan bahwa momen bersejarah ini terus memberikan makna bagi generasi yang akan datang.
Penulis : Wail Arrifki
Editor : Ahmad Farisi