Sejarah Gili Iyang yang Terpendam

Redaksi Nolesa

Jumat, 2 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh ELMIRA DAMAYANTI


What do you think about Gili Iyang is? Barangkali pertanyaan ini terbesit dalam benak sebagian orang, bahwa pulau ini merupakan sebuah pulau yang memiliki kadar oksigen terbaik di dunia dengan di warnai keindahan alam yang memukau. Akan tetapi, tidak cukup sampai di situ, pulau yang memiliki keindahan yang melimpah banyak menyimpan berbagai macam sejarah yang menjadi ruh dan pusat keindahan di pulai Gili Iyang.

Sebagaimana dalam buku “Gili Iyang: Agama, Budaya dan Identitas Maritim” yang ditulis oleh anak muda Gili Iyang, Moh Uliyanto yang cukup detail menyajikan serpihan sejarah dari sejak dibabatnya hingga terbentuknya budaya dan peradaban, dan kemudian menjadi sebuah pulau yang saat ini menjadi bagian dari sebuah kehidupannya. Setidaknya buku ini menjadi penerang bagi masyarakat Gili Iyang dengan menyajikan poin-poin yang ditawarkan, diantaranya adalah: sejarah, etnis budaya dan identitas maritim

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sejarah pembabatan dan sejarah lain yang terpendam

Pada mulanya Gili lyang hanyalah sebuah pulau tak berpenghuni yang merupakan alas belantara dengan luas sekitar kurang lebih 9.15 Km2 dengan panjang 212 dan lebar 112 mil. Pulau ini tepat lurus dengan khatulistiwa hingga di sebut sebagai pulau malang are. Dalam buku ini dipaparkan bahwa pembabatnya pertama kali adalah Andang Taruna, Seorang kelahiran Binongko, wokatobi, sulawesi tenggara yang sejak dulu memang memiliki tekad untuk mencari pulau tak berpenghuni yang letak geografisnya lurus dengan garis khatulistiwa.

Proses pencariannya tidaklah mudah tentu harus melalui beberapa rintangan hingga pada akhirnya beliau tiba di Gili Iyang. Andang Taruna dan keluarganya sendiri, sebelum memasuki pulau, membaca zikir permohonan agar mendapatkan lindungan dari Allah SWT, Karena memamg pada saat itu pulau Gili Iyang hanya hutan belantara yang penghuninya adalah binatang buas dan juga makhluk halus, zikir ini kemudian dikenal sebagai “zikir Anderenat” dan biasa dibaca saat upacara Anderenat oleh penduduk setempat sampai saat ini. Pembabat setelahnya di kenal dengan nama Datuk Daeng Kareang Masalleh, beliau merupakan keturunan

Baca Juga :  Emosi dan Kehilangan: Interpretasi dalam Seribu Wajah Ayah

sultan Gowa-Tallo yang kemudian menjadi pembabat selanjutnya setelah Daeng Taruna. Melalui perjalanan panjang pula dia akhimya menemukan pulau Gili Iyang kemudian beliau menunaikan niat utamanya untuk berdakwah, setelah sebelumnya beliau juga mendapatkan amanah untuk mencari pulau yang sejajar dengan garis khatulistiwa (malang e are). Setelah sekian tahun lamanya beliau berdakwah muncul pulalah tokoh-tokoh yang kemudian melanjutkan dakwah beliau, salah satu diantaranya bernama Daeng Bati.

Terlepas dari sejarahnya sendiri, Gili Iyang juga merupakan kesaksian kekejaman para komponi-komponi Belanda dan Jepang, kemelaratan yang mereka timpakan terhadap rakyat Indonesia khususnya Madura. pada saat itu mereka tengah menghadapi berbagai macam penindasan, mulai dari pengambilan hasil laut dan sawah secara paksa, kelaparan yang merajalela, pelampiasan hawa nafsu tentara jepang, serta kemelaratan dalam menghadapi berbagai penyakit, seperti bekicot, ulat dan hama yang lain. Sebenarnya wabah tersebut tidak lantas menimpa masyarakat Gili Iyang pada masa itu, Masyarakat di sekitar Sumenep seperti kecamatan Dasuklah yang sebenarnya menjadi sasaran itu, Oleh sebab itu dari segala macam cobaan yang tumpang tindih mereka akhirnya memilih bermigrasi ke pulau-pulau di sekitarnya termasuk Gili Iyang untuk kemudian memulai kehidupan yang lebih menjanjikan. Kilasan sejarah lainnya juga di paparkan oleh penulis seperti bagaimana tentara jepang menenggelamkan kapal-kapal feri sebagai alat transportasi di daerah Sumenep yang menjadi penghubungan antar 67 pulau, arus barang dan penumpang pada saat itu akhirnya hanya bergantung pada perahu- perahu kecil milik nelayan.

Baca Juga :  Risalah Ushul Fiqh

Etnis Budaya

Sejak dulu, cikal bakal penduduk Gili Iyang sebenarnya berasal dari berbagai macam suku dan budaya, Gili Iyang tidak hanya di tempati oleh orang-orang yang berasal dari Madura, suku lain seperti bugis dan Makassar juga pernah menjadikan Gili Iyang sebagai tempat tinggal hingga mereka beranak pinak, sejarah juga mencatat bahwa beberapa dari pedagang yang melintasi perairan Gili Iyang dan memilih bermukim disana juga berasal dari Arab dan Tionghoa. Meski demikian, Masyarakat Gili Iyang pada masa itu tetap menggunakan bahasa Madura sebagai simbol kebahasaan mereka meski dengan dialek yang berbeda-beda, hal ini barangkali di sebabkan karena Gili Iyang sendiri masih dalam kungkungan wilayah Madura meski para penghuninya bukan asli madura. Tak Cukup sampai disitu, penulis juga begitu piawai menyajikan sejarah kepemimpinan dari masa ke masa di pulau Gili Iyang, sehingga menjadi bagian dari budaya yang kelak akan diwariskan oleh pulau itu sendiri terhadap penghuninya, ada sekitar 11 pemimpin di desa Banraas dan 9 pemimpin di Bancamara setelah sistem pemerintahan di kedua Desa itu tidak lagi di satukan, Para pemimpin-pemimpin itu terbukti berhasil dalam mewujudkan Cita-cita leluhurnya, yaitu sebuah pulau yang tentram dengan ajaran agama Islam sebagai ruhnya, dan seperti yang kita kenali sampai saat ini, Gili Iyang akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi sebuah pulau yang membuat setiap pengunjungnya takjub akan ciptaan Tuhannya.

Baca Juga :  Tuhan, Manusia, dan Alam

Buku ini telah berhasil mengungkap setiap seluk beluk sejarah yang tersimpan di pulau yang kita kenal sebagai Oksigen terbaik itu, penulis secara detail meyingkap setiap kilasan sejarahnya, bahkan ke akar-akarnya, beberapa di dalam buku tersebut juga terdapat riwayat hidup sang pembabat, seperti Andang Taruna dan Daeng Karaeng Mashalleh, penulis telah mampu membuktikan bahwa Gili Iyang memang bukan hanya sekedar keindahan yang terlihat dari luar, apabila kita mengetahui Sejarahnya, kita aka meyakini bahwa ini bukankah sebuah cerita yang berpindah dari dongeng ke dongen, sebab sejak dulu Gili Iyang memang terkenal dengan keunikan, kemestisan dan angker yang bercampur baur

Hanya saja terdapat beberapa kekurangan dalam penulisan buku ini, pertama, ada beberapa tulisan yang sepertinya melenceng dari tema, dan tidak masuk maupun merasuk terhadap Gili Iyang itu sendiri, penulis terlalu jauh mengambil sampel yang seharusnya dia hanya objektif dalam Gili Iyang itu saja, Selebihnya buku ini merupakan suatu bentuk perjuangan yang memang luar biasa dari seorang penulis bernama Moh. Uliyanto, karena pada dasarnya apa yang telah ia tulis merupakan kekayaannya yang tak dapat dinominalkan, ini merupakan warisan untuk anak cucu, khususnya untuk pemuda Gili Iyang sendiri, sebab seperti apa yang di katakan oleh Howard Ziin: A people’s History of the United states (Jika anda dapat mengontrol narasi sejarah, anda akan dapat mengontrol pikiran dan tindakan orang- orang).


Judul : Gili Iyang; Budaya, Agama dan Identitas Maritim Penulis : Moh. UliyantoP

enerbit : KPG(Komunitas Pemuda Gili Iyang) Tahun Terbit : Maret 2025

Tebak Halaman : 176 Halaman ISBN: 9786231073358

Gili Iyang dan Sejarahnya yang Terpendam

 

Berita Terkait

Mendengarkan Maarten Hidskes
Sejarah, Psikologi, dan Eksistensial
Tuhan, Manusia, dan Alam
Emosi dan Kehilangan: Interpretasi dalam Seribu Wajah Ayah
Bermekaran Bersama Bunga Tulip dengan Puisi Surajiya
Keperibadian Tan Malaka dalam Kacamata Generatif Bourdieu
Pengembangan Diri dengan Upaya Merawat Emosi
Melihat Proses Politik Indonesia Pasca Reformasi 1998

Berita Terkait

Jumat, 2 Mei 2025 - 05:01 WIB

Sejarah Gili Iyang yang Terpendam

Senin, 30 September 2024 - 22:55 WIB

Mendengarkan Maarten Hidskes

Kamis, 13 Juni 2024 - 00:07 WIB

Sejarah, Psikologi, dan Eksistensial

Minggu, 19 Mei 2024 - 05:53 WIB

Tuhan, Manusia, dan Alam

Rabu, 15 Mei 2024 - 10:39 WIB

Emosi dan Kehilangan: Interpretasi dalam Seribu Wajah Ayah

Berita Terbaru

Presiden Prabowo ditemani Mentri Amran di sebuah lahan pertanian (foto: ist)

Nasional

Di Era Presiden Prabowo, Serapan Beras Tertinggi dalam 58 Tahun

Selasa, 13 Mei 2025 - 07:32 WIB

for NOLESA.COM

Opini

Pesantren di Era Digital: Sebuah Catatan Sederhana

Minggu, 11 Mei 2025 - 11:04 WIB

Bupati Sumenep, Dr. H. Achmad Fauzi Wongsojudo menerima SK PAW dari Ketua MUI Jatim, KH. Hasan Mutawakil Alallah di Kantor MUI Jatim, Sabtu, 10/5/2025 (foto: ist)

Daerah

Bupati Sumenep Terima SK PAW

Sabtu, 10 Mei 2025 - 19:46 WIB