Yogyakarta, NOLESA.com – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan agar Mahkamah Agung (MA) diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Usulan itu disampaikan langsung oleh Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI sebagai bentuk dukungan atas perintah Presiden Jokowi yang meminta Menko Polhukam Mahfud MD untuk melakukan reformasi sistem kehakiman di Indonesia.
Menurut Ahmad Sahroni, dengan ditetapkannya Sudrajad Dimyati – salah satu hakim agung pada MA- sebagai tersangka kasus korupsi suap penanganan perkara, maka reformasi memang penting untuk dilakukan. Khususnya pada poin pengawasan.
”Saya rasa reformasi akan banyak pada poin pengawasan. Yang selama ini mungkin karena titelnya “Mahkamah Agung” atau ”Hakim Agung”, sehingga sulit untuk dijangkau oleh pengawasan,” ujar Sahroni.
Karena itu, dalam rangka memaksimalkan pengawasan hakim di MA, pihaknya menilai bahwa penting bagi KPK untuk dilibatkan dalam mengawasi kekuasaan kehakiman itu.
Sampai saat ini, ia menilai belum ada bentuk pengawasan yang konkret terhadap kekuasaan kehakiman. Karenanya, KPK menurutnya perlu diberi kewenangan untuk juga mengawasi MA.
”Iya benar untuk pengawasan yang konkret, sekarang belum ada, karena itu saat sekaranglah KPK untuk bisa mengawasi. Berikan kewenangan pengawasan kepada KPK agar jelas dan tertib juga, insyaallah pasti baik ke depannya, tidak akan terulang,” ujarnya.
Tugas KPK adalah melakukan pemberantasan korupsi
Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Uin Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta Gugun El Guyanie menilai usulan Wakil Ketua Komisi III DPR RI itu tidaklah tepat.
Sebab, secara konstitusional, KPK tidak punya kewenangan untuk mengawasi kekuasaan kehakiman atau perilaku hakim. Menurutnya, yang punya kewenangan untuk mengawasi MA adalah Komisi Yudisial (KY).
”Yang mengawasi MA adalah KY,” ujar Gugun El Guyanie kepada nolesa.com melalui keterangan tertulis pada Selasa (9/28/2022).
Karena itu, Gugun El Guyanie menilai bahwa menjadikan KPK sebagai lembaga yang juga ikut mengawasi perilaku hakim itu tidak bisa dilakukan.
Selain karena pengawasan etik hakim sudah di tangan KY, alasan lainnya karena tugas pokok dan fungsi (tupoksi) KPK adalah melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi, bukan melakukan pengawasan terhadap lembaga kehakiman.
”Tidak bisa, KPK tupoksinya adalah pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pengawasan etik hakim adalah kewenangan KY,” ujar dosen Hukum Tata Negara pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga itu.
Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”
Namun, menurut Gugun, sejauh ini pengawasan etik yang dilakukan KY masih sangat lemah. Sehingga menyebabkan banyak hakim jatuh pada pelanggaran etik atau bahkan pidana.
”Tapi KY selama ini masih lemah,” ujarnya.
Karena itu, Gugun menilai daripada menjadikan KPK sebagai pengawas lembaga kehakiman, yang lebih penting dilakukan adalah memaksimalkan kewenangan pengawasan yang dimiliki KY.
Menurutnya, kewenangan pengawasan KY terhadap MA harus diperkuat lagi.
Penulis: Farisi Aris
Editor : Ali Tsabit