Oleh: Abd. Kadir
(Dosen Pascasarjana Institut Kariman Widayudha (INKADHA) Sumenep)
Kata dalam judul di atas sering saya dengan dari teman saya ketika memberikan sambutan atau berbicara dalam sebuah acara, baik formal maupun nonformal. “Kita perlu terus melakukan serangkaian upaya konkret sehingganya pergerakan kita bisa maksimal.” Begitulah salah satu kalimat yang pernah disampaikannya pada suatu waktu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara sederhana, mungkin apa yang terasa mengganjal bagi saya, tidak terlalu merisaukan banyak orang. Tetapi, secara pribadi, kata “sehingganya” ini menjadi “kerikil dalam sepatu” yang sangat tidak “asyik” untuk didengar. Sepertinya, memang tidak banyak orang yang menggunakan kata “sehingganya” ini. Dari sedikit orang itu, ternyata teman saya ini adalah salah satunya.
Diakui bahwa teman saya ini seorang aktivis. Dia seorang tokoh yang memiliki banyak follower. Dia adalah orang yang ditokohkan. Konsekuensinya, karena dia orang yang ditokohkan, maka apa yang disampaikan akan berpotensi untuk diamini dan diikuti oleh para pengikutnya, termasuk juga gaya berbahasanya yang menggunakan kata “sehingganya”.
Bahasa “sehingganya” ini dulu sering saya dengar dari teman-teman di pondok pesantren—30 tahun yang lalu—karena adanya interferensi Bahasa Madura yang sering dipakai di pesantren: “saenggana” yang kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia “sehingganya”. “Saenggana” adalah Bahasa Madura “saengga” dan “na”. Dalam konteks ini, morfem “na” ini adalah panoteng dalam Bahasa Madura (sufiks/akhiran dalam Bahasa Indonesia). Kata “sehingganya” ini sering disampaikan para santri khususnya ketika ada acara “muhadaroh” (latihan pidato) di pondok.
Sebenarnya, kata “saengga(na)” bukanlah turunan dari kata “sehingga” dalam Bahasa Indonesia. Kata “saengga(na)” bermakna “mon/manabi”, “jika” (dalam Bahasa Indonesia). Sementara itu, kata yang semakna dengan “sehingga” dalam Bahasa Madura adalah “kantos”/”daga”. Jadi, pola pemakaian kata “saenggana” yang kemudian diterjemahkan secara bebas ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “sehingganya” adalah penyimpangan yang tidak berterima dalam Bahasa Indonesia, meskipun dalam Bahasa Madura kata ini berterima dan dianggap sahih.
Mengapa terjadi penyimpangan? Karena dipahami bahwa masyarakat Indonesia mayoritas adalah penutur dwibahasa. Diakui atau tidak, masyarakat Indonesia pada umumnya menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia secara bergantian. Di satu sisi, dalam lingkungan masyarakat yang kental dengan bahasa daerah, penguasaan bahasa daerah—Bahasa ibu/bahasa pertama (B1)—bagi masyarakat kita menjadi faktor yang sangat signifikan dan lebih dominan. Di sisi yang lain, bahasa Indonesia yang diperoleh sebagai bahan kedua (B2) dalam pembelajaran di sekolah, atau yang sering digunakan dalam lingkungan keluarga dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi bahasa kedua yang dipakai oleh masyarakat. Dalam konteks demikian, penutur yang menggunakan Bahasa secara bergantian disebut dengan penutur bilingual.
Dalam terminologi Chaer bahwa kemampuan penutur bilingual sangat bervariasi. Ada penutur yang penguasaannya terhadap B1 dan B2 sama baik. Ada pula penutur yang penguasaan B1 lebih baik daripada B2 ataupun sebaliknya. Penutur yang menguasai B1 dan B2 dengan sama baik tidak akan merasa kesulitan ketika menggunakan keduanya. Namun bagi penutur yang penguasaan terhadap B1 lebih rendah daripada B2 akan mengalami kesulitan ketika menggunakan B2 karena telah terpengaruh oleh B1 yang dikuasainya lebih banyak. Kesulitan dalam berbahasa ini dapat menjadi penyakit karena bisa megacaukan sistem bahasa yang baik dan benar. Di sinilah potensi penyimpangan bahasa itu akan menguat.
Pada tataran ini, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada tuturan dwibahasawan dari norma salah satu bahasa adalah sebuah akibat atas adanya kontak bahasa. Nah, inilah yang disebut dengan interferensi.
Kembali pada fenomena “sehingganya” di atas, bahwa interferensi Bahasa Madura ke dalam Bahasa Indonesia juga bisa terjadi pada masyarakat Madura yang berbahasa ibu Bahasa Madura. Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua menjadi salah satu faktor atas terjadinya banyak kesalahan ketika menggunakannya. Hal ini disebabkan karena penguasaan bahasa daerah lebih dominan daripada bahasa Indonesia. Atau bisa juga karena kebiasaan menggunakan bahasa Madura yang dipakai secara bebas dalam bahasa Indonesia. Dalam situasi ketidaktahuan bahwa itu adalah sebuah interferensi, ditambah dengan masyarakat di lingkungannya yang mungkin menggunakan pemakaian bahasa yang sama, akhirnya menjadi kebiasaan yang dipakai meskipun itu termasuk dalam penyimpangan.
Kasus pemakaian bahasa “sehingganya” ini sebenarnya mungkin tak terlalu penting untuk dibahas. Tetapi, ketika yang menggunakan bahasa menyimpang ini adalah seorang tokoh, maka akan dianggap sebagai ‘kebenaran’ yang dilegitimasi oleh para pengikut/idolanya. Nah, fenomena inilah yang akan “mengganggu” eksistensi dan kemurnian bahasa Indonesia.