Membaca Itu Kebutuhan

Redaksi Nolesa

Selasa, 30 April 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Abd. Kadir (Foto: dokumen pribadi)

Abd. Kadir (Foto: dokumen pribadi)

Oleh: Abd. Kadir

(Dosen Pascasarjana Inkadha Sumenep)

Minggu kemarin, saya disambangi teman-teman panitia kegiatan literasi dari Komunitas Kata Bintang. Mereka mengundang saya untuk menghadiri acara Duta Baca Indonesia dan Madura Writers and Festival tanggal 23 April 2024. Duta Baca Indonesia yang akan hadir ke Sumenep ini, Sahabat Gol A Gong (nama pena Heri Hendrayana Harris): seorang sastrawan, penulis novel yang namanya sudah malang melintang dalam dunia kepenulisan di Indonesia. Hanya saja, saya belum bisa bergabung dalam acara itu karena ada acara lain di luar kota.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mengetahui akan ada acara yang akan dihadiri duta baca ini, saya sempatkan berdiskusi panjang lebar dengan panitia yang datang ke saya seputar dunia baca dengan segala fenomenananya. Bagi saya, menarik ketika membincang fenomena membaca ini. Mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa membaca adalah pekerjaan yang disukai sebagian orang, tapi “dibenci” banyak orang. Realitas ini terjadi karena bagi banyak orang, membaca merupakan pekerjaan yang dianggap membosankan, menyebabkan ngantuk, tidak mengasyikkan dan banyak stigma lain yang berkembang di kalangan masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, ketika saya masuk dalam beberapa komunitas, ternyata membaca itu tidak menjadi pilihan utama untuk menimba pengetahuan. Mereka lebih asyik mendengarkan daripada membaca. Kalimat yang sering muncul ketika saya menyarankan teman-teman untuk membaca: “Daripada saya repot-repot membaca, sudah ceritakan saja, saya akan mendengarkannya.”

Baca Juga :  Islam Nusantara sebagai Solusi

Jawaban seperti ini ternyata masih lazim didengar dalam lingkungan masyarakat. Artinya, kecenderungan untuk membaca itu masih cukup memprihatinkan. Memang, ketika mencermati kehidupan masyarakat sehari-hari, budaya lisan telah mendarah daging di hampir setiap stratifikasi sosial. Proses transfer ilmu dan informasi lebih banyak dilakukan melalui mulut ke mulut. Budaya lisan ini semakin menguat seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Tidak heran bila saat ini masyarakat kita merasa asing dengan buku. Mereka lebih fasih dengan nama-nama artis di televisi dan media social, daripada nama penulis-penulis buku. Mereka juga lebih suka ngobrol atau mendengarkan cerita daripada membaca-menulis, meskipun kalau dipahami, perintah membaca itu sudah jelas dalam agama.

Baca Juga :  Kebodohan dan Ingin Diakui Tanpa Mengetahui

Oleh karena itu, tak heran ketika fenomena ini kemudian memunculkan sebuah pepatah: “malu bertanya sesat di jalan”. Dari pepatah ini berkembanglah satu analisis bahwa mindset pemikiran masyarakat telah menafikan baca-tulis.

Di sisi lain, ternyata realitas ini tidak dipahami sebagai sebuah ketidakseimbangan dalam hidup. Padahal membaca itu adalah proses memenuhi gizi otak. Ketidaksadaran manusialah yang mengantarkan pada pemahaman bahwa seolah-olah mausia hanya butuh gizi fisik saja, meskipun sejatinya bukan hanya gizi badan kita yang perlu diberi asupan yang cukup, melainkan gizi otak pun memerlukan asupan gizi yang cukup pula.

Jadi, selain perintah agama, membaca juga untuk menjaga “kesehatan otak”. Dalam perspektif ini, sebenarnya membaca adalah sebuah kebutuhan.

Tentang jargon membaca mungkin kita sudah banyak tahu. “Membaca menuju perubahan”, “membaca adalah kunci ilmu pengetahuan”, “membaca membuka jendela dunia”, “membaca adalah jalan menuju kemajuan dan kejayaan” adalah beberapa jargon yang sering didengar. Namun, jargon ini kadang hanya berlalu begitu saja. Padahal, dengan membaca orang akan mendapat anugerah dan karunia. Kalau tidak membaca maka akan sulit bagi kita untuk maju.

Baca Juga :  Kendaraan Listrik, Alternatif Mengurangi Polusi Udara

Untuk itu, memotivasi diri untuk menjadikan membaca sebagai kegiatan ibadah agar mendapat anugerah dan karunia, tampaknya perlu terus dilakukan. Kita perlu memahami dengan kesadaran yang utuh bahwa membaca ini kebutuhan bagi kita. Karena kebutuhan, posisi membaca sama dengan makan dan minum. Kalau tidak makan, kita menjadi lapar; kalau tidak minum kita menjadi haus. Artinya, kalau tidak membaca, otak kita akan kering.

Tetapi, untuk masuk pada kesadaran membaca sebagai sebuah kebutuhan, perlu proses panjang. Dalam perspektif ini, tentunya perlu dilakukan pemaksaan untuk memulai membaca. Proses “pemaksaan” ini akan menjelma kebiasaan; dengan kebiasaan akan menjadi kebutuhan. Semoga!

Berita Terkait

Ketika Kemajuan Teknologi Malah Mendorong Kemunduran Logika
Demokrasi Sehat, Rakyat Berdaulat: Menuju Sumenep Bermartabat
Menanamkan Nilai
Anies Baswedan dan Partai Baru
Refleksi HUT RI Ke-79: Mengapa Bung Karno Memilih Bentuk Negara Kesatuan?
KPK dalam Jeratan Desentralisasi Korupsi
Dilarang Membuang Sampah di Sini
Cegah Politik Uang dalam Pilkada 2024

Berita Terkait

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:16 WIB

Ketika Kemajuan Teknologi Malah Mendorong Kemunduran Logika

Selasa, 12 November 2024 - 06:56 WIB

Demokrasi Sehat, Rakyat Berdaulat: Menuju Sumenep Bermartabat

Jumat, 25 Oktober 2024 - 06:48 WIB

Menanamkan Nilai

Selasa, 3 September 2024 - 08:59 WIB

Anies Baswedan dan Partai Baru

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 10:13 WIB

Refleksi HUT RI Ke-79: Mengapa Bung Karno Memilih Bentuk Negara Kesatuan?

Berita Terbaru

Elmira Damayanti (kolase foto nolesa.com)

Puisi

Puisi-puisi Elmira Damayanti-Madura

Sabtu, 7 Des 2024 - 07:43 WIB